Wednesday, November 23, 2011

Sekantung Hujan

Entahlah apa aku pada detik ini, seketika saja guntur yang bertautan cahaya tak bersuara di balik mendung sementara hujan terlihat dari kejauhan sementara sudah kering dan sudah lelah aku mencoba menari tarian hujan dan berharap diantara sela rambutku akan turun hujan yang meresap menuju ubun-ubunku, tapi entahlah apa akan ada hari ini.

Perempuan itu menuliskan masa lalunya diantara selang waktu diam yang datang menghampirinya sementara aku berdiri di atas mercu suar dan berteriak dalam keheningan, aku tidak akan tersambar guntur pikirku namun tetaplah ketakutan yang menusuk dadaku. 

Dia mencoba melukiskan pelangi saat kuas berwarna biru yang akan kau torehkan terlihat olehku, namun aku saja mematung seperti laki-laki penjaga malam dibawah naungan hujan sehingga tetap tak beranjak dari hanya mimpi atau hanya sebatas kata berjalan dan berjalan tanpa kau tahu dalam berjalan yang aku tuliskan adalah tentang kau.

Sehari kemarin aku membeli hujan di pasar dekat pelabuhan di mana tidak ada ombak ataupun proses lelang yang selalu membuatku kalah dalam pertempuran, hujan itu aku bungkus sedemikian rupa dalam kantung plastik berwarna transparan biar semua orang tahu bahwa aku mempunyai hujan yang bisa membasahi rambutku setiap hari, namun karena itupun orang mulai menganggapku seorang gila yang sedang bermimpi dan melamun di siang hari cerah. 

Aku menjadi sangat tidak peduli.

Perempuan itulah yang diam saat hujan ternyata menangis lagi sementara aku sendiri tak mempunyai handuk kering untuk melindungi ataupun sebatas payung koyak yang terkubur dalam nurani, sementara keberanianku sudah terlalu jauh meninggalkanku. 

Di hari sebelum hujan aku memanjat menara mercusuar dan kusiramkan hujan dibawah keheningan cahaya walaupun aku tahu guntur menyambar dan diam serta hanya menyisakan sedikit cahaya yang sedikit membutakan kesensitifan mataku terhadap cahaya. Aku bernyanyi mengikuti perempuan itu walaupun tak terdengar, namun tetap saja dia tidak tahu atau bahkan justru menutup kedua matanya untuk tidak melihatku kembali dan kembali seperti ulat bulu yang menggerogoti ujung daun kehidupan.

Perlahan ku buka sekantung hujan yang kubeli mahal yang menghabiskan setahun uang makanku, dia menguap dan hilang tanpa berbekas dan hanya menyisakan sekantung udara kosong yang membuatku cukup terdiam, namun aku tidak mengeluhkan waktu ataupun hujan yang telah hilang, aku hanya menangis menggantikan hujan tapi air mataku pun tidak keluar air yang biasanya mengalir seperti hujan di bulan Desember.

Perempuan itu terlihat bisu sementara dia hanya bersikap menjawab semua pertanyaanku lalu kemudian timbul tenggelam di dalam kabut yang kadang muncul namun terkadang hilang. Aku kemudian turun dari menara itu menghampiri perempuan itu saat dia muncul dari kegelapan dan dalam kondisi saat dia sedang berjalan mundur yang aku tahu, karena saat itu yang nampak hanya panjang tergerai rambutnya serta jenjang tubuhnya meliuk perlahan bagaikan angin. Tapi aku tak bisa mengejarnya, perempuan itu hilang saat aku sendiri sadar kantung plastikku tertinggal diatas menara, lalu aku berlari kembali ke atas menara dan saat kudapatkan plastik tersebut akupun bisa lebih jelas melihat mata sayunya.

Perempuan itu datang dari arah barat dimana senja sudah memupuk malam dan sebentar lagi gelap, namun setiap kemudian aku berlari menghampirinya dia menghilang dan bersamaan ketika kantung plastik yang awalnya berisi hujan yang kini kosong tertinggal di atas menara. Entah berapa kali aku melakukan hal tersebut, berlari mengejarmu namun kau tidak ada namun saat aku kembali dengan kantungku kau terlihat lebih jelas dari sebelumnya, bahkan aku bisa melihat jelas ukiran bibirmu yang berucap padaku walaupun aku tak tahu apa yang kau ucapkan. 

Aku pernah berkata pada hujan di pagi hari namun tidak di atas menara, bahwa aku tidak akan lelah mengejar mu hingga lebih jelas tampak sosok tubuhmu. 

Perempuan itu menangis, entah karena aku? 

No comments:

Post a Comment