Tuesday, November 29, 2011

Akulah Malam

Berlari kemudian terbang dan bermain dengan awan hingga pada saat titik terendahku aku tetap tidak menapak ke Bumi, namun akulah pencinta Bumi seprti seorang anak yang mengabdi terhadap ibundanya. Namun ayah langit selalu tampak murka saat aku berdiri melangkah dengan kedua kakiku di sebuah sungai kecil yang tak jauh dari rumahku.

Sungai itu kukenal sebagai pelangi dimana jika senja tiba banyak bidadari yang sengaja turun untuk membersihkan dirinya, dan itu adalah awal kedewasaanku saat kukenal seorang putri yang bergaun merah yang sangat membenci malam. Walaupun dia membenci malam satu hal yang membuatku tetap bersikukuh dengan sang putri karena pada matanya aku bisa merefleksikan diriku. Dari cara dia tersenyum dan dari dia berbicara walaupun sepertinya enggan berbicara denganku. 

"Akulah sang anak langit", kataku suatu hari pada saat kuda yang kugembalakan menanyakan siapa diriku, tapi itupun hanya sebuah metafora biasa yang sering ia dengar, bahkan ia hanya mencemoohku dengan sebutan seorang laki-laki yang mengharapkan angin untuk belahan jiwanya.

Aku urung menangis ataupun mengeluh, yang aku tahu saat itu aku tengah tertidur di pangkuan ibu perrtiwi dan kemudian hujan bertautan membasahiku seolah memberikanku harapan bahwa perempuan akan selalu menjadi perempuan, dan kemudian Ayah langit bicara padaku "Dialah sang ibu dari anakmu kelak dan dialah sebuah semangat saat lukisanmu terhapus oleh tetesan hujan!". Dan akupun kembali terbangun untuk menuju istana ku, sebuah istal kuda dimana akulah seorang pangeran yang berpakaian perak dengan baju zirah ku yang terbuat oleh baja tahan peluru hingga suatu ketika aku sendiri tak pernah bisa kuat untuk mengangkatnya.

Pada suatu sore, sungguh tak ada yang aku inginkan ketika itu selain mendengar suara nya yang kadang-kadang nampak terganggu oleh ku namun dia tetap teliti memandangku untuk kemudian mengacuhkanku, mungkin saja jika saat itu aku bisa mengatur mimpiku aku akan membawa pedang peninggalan ayahku karena menurut ayahku dengan pedangnya semua perempuan akan tunduk. Namun itupun harus hilang dari pandanganku seketika karena ternyata pedang itu hanyalah sebilah emas yang aku sendiri selalu silau untuk membawanya. 

Aku mengendap-ngendap dari semak belukar berharap bahwa yang akan nampak oehku adalah suara sang putri yang selalu bergaun merah itu, dari kejauhan bisa kudengar tawanya dan pembicaraannya mengenai kebenciannya terhadap malam dan keadaan yang memaksa dia untuk tidak lagi peduli dengan apapun dan itu termasuk sang anak langit, yakni aku. 

Pelan-pelan kubuka tirai dari semak yang berwarna hijau itu dan begitu terlihat sangat berlawanan gaun merah yang dikenakannya bersanding dengan seorang pria yang memakai warna ungu, aku pikir itu hanya bias cahaya sungai pelangi dimana terkadang selalu nampak berlainan warna. tapi tidak! kulihat lelaki itu memegang kedua tangan si perempuan itu. Aku hampir saj terperosok ke tepian sungai dan bila itu terjadi betapa malunya aku saat itu, namun dengan cekatan aku memegang kepala seekor ular untukku menopang tubuh dan tidak terjatuh. Ular itu sempat mematukku hingga aku sendiri harus bertahan dengan kesadaranku, hasilnya aku tetap sadar.

Tapi kemudian sang putri bergaun merah itu menghampiriku kemudian bertanya padaku "siapakah kisanak?, dan kenapa kisanak ada disini? apakah kau sudah menjadi manusia dari bumi hingga harus kau jatuh cinta?". Aku hanya diam terbata sementara bunga-bunga disekelilingku mulai mekar seiring dengan harum tubuh sang putri itu. Lalu sejenak dia ulurkan tangannya dan menggapaiku "Kaulah malam!" dan serta merta dari uluran tangannya dia menamparku sangat keras hingga suaranya membelah langit bak guntur di hari yang cerah hingga saat itu pula turun hujan begitu derasnya. Perempuan itu lari!

Sang laki-laki yang memakai pakaian ungu menghampiriku dan mengambil sebatang tongkat  yang tertancap pada pinggiran sungai itu dan dengan ketangkasannya dia menghujamkan ke arahku tepat pada jantungku!.

Aku mati!

No comments:

Post a Comment