Friday, December 30, 2011

Rumah Kopi Tua

Semenjak jalan dari kemarin  kami tidak ketemu dengan segelas kopipun. Travis, seorang warga Canada yang sangat mencintai Indonesia adalah seorang pecinta kopi yang tidak mau disebut sebagai pecandu kopi. Menurutnya kopi adalah hidup dan Ia temukan saat beberapa kali kunjungannya ke Indonesia. Kopi tubruk adalah denyut nadinya. Ia sudah sering kali berpergian ke seluruh kota di Bumi ini dan merasakan berbagai jenis kopi dari seluruh dunia dan iapun selalu rapi menyusun rasa-rasa kopi tersebut dalam sebuah catatan kecil yang selalu ia bawa  kemanapun ia pergi termasuk kedalam toilet yang ia yakini sebagai tempat ia merencanakan masa depannya.

Travis berada di Indonesia karena alasan yang tidak harus aku ceritakan tapi saat ini tepatnya kami ingin mencari tempat sebagai perenungan kami. Travis sangat mencintai alam, walaupun ia adalah seorang insinyur teknik namun ia sangat tradisional dalam memandang hidup. Menurutnya teknologi di ciptakan hanya untuk membantu manusia dikala manusia sendiri sudah merasa tidak mampu melakukan sesuatu. Dan karena alasan tersebutlah Travis mencintai Indonesia dimana ia sangat mencintai kopi yang di tumbuk secara tradisional dan diseduh secara tradisional pula.

Di daerah tempat ia tinggal sering ia jumpai capucino atau kopi olahan lain tapi pada akhirnya ia putuskan untuk jatuh cinta pada kopi tubruk. Tepatnya tahun lalu aku bawa kesuatu daerah yakni Pangalengan, sebuah tempat yang berada di Selatan kota Bandung. Di sana ia mengenal seorang perempuan di sebuah kedai kopi dan merasa jatuh cinta padanya. Kebetulan ayah dari perempuan ini adalah seorang petani kopi yang selalu membuat kopi dan mengolahnya sendiri untuk di jual di kedai kopi milik keluarganya. 

Satu minggu Travis berada di Pangalengan, kota ini bukan merupakan kota penghasil kopi namun tentunya ada beberapa pohon kopi yang sengaja di tanam sebagai tanaman tumpang sari di kebun-kebun mereka ataupun pekarangannya. Travis mengenal kopi tradisional dan mengenal cinta dari secangkir demi secangkir kopi yang ia minum selama di sana, dan semenjak itu Travis selalu meminum kopi buatan Keluarga Si pembuat kopi bahkan tidak segan ia tiap bulan mengirim uang untuk membeli kopi sebagai persediaan ia minum kopi. 

Menurutku kopinya tidak sama sekali enak jika dibandingkan dengan kopi luwak, kopi toraja atau kopi manapun di Indonesia. Kopi ini hanya mengeluarkan aroma selama beberapa detik saja pada saat penyeduhan namun kemudian hilang aromanya, tapi Menurut Travis kopi tersebut adalah kopi keikhlasan seseorang dan cinta yang tentunya sangat berperan terhadap rasa.

Di kota Malang tempat beristirahat kami semenjak siang Travis sepertinya gelisah karena belum meminum kopi, dia tidak mau masuk ke coffeeshop ataupun membeli kopi instant yang dijual di warung-warung sehingga ia memutuskan untuk mengajakku dan mencari kedai kopi tradisional.

Disudut kota Malang, tepatnya dekat dengan lingkungan kampus dimana terdapat rumah-rumah kost para mahasiswa ia berpikir bisa menemukan kopi tradisional yang ia inginkan sehingga kamipun mulai berjalan kaki menembus gerimis sore itu  demi secangkir kopi cinta. Travis sempat mengamuk di Surabaya tempat kami mendarat saat menuju Malang karena ia kehilangan kopi cinta nya yang ia bungkus rapi di dalam tasnya, namun entah karena ia lupa atau memang hilang akhirnya kami tidak berusaha berdebat dengan petugas bandara kemudian melanjutkan perjalanan.

Di sebuah sudut jalan persis di samping sungai kecil ia melihat sebuah kedai kopi kecil yang sangat kumuh namun bukan masalah kumuhnya atau memang status sosial yang terlihat di lingkungan tersebut akhirnya kami datangi tempat tersebut kemudian memesan kopi yang kami mau. Bahasa Indonesia Travis belum terlalu lancar sehingga aku yang menjadi penterjemahnya dan menyampaikan bahwa kopi yang kami pesan adalah kopi yang di racik sendiri. Ibu tua yang jelas mengerti betul mau kami dia tersenyum dan mempersilahkan kami duduk dan menunggu.

Satu jam sudah sudah kami menunggu dan menyantap pisang goreng yang di sajikan di warung tersebut sambil berbincang-bincang mengenai masa depan kami. Ibu tua yang berparas gemuk itu kemudian datang dan menyuguhkan kopi kepada kami, aku lihat Travis sepertinya menikmati kopi yang disajikan Ibu tua itu dan bertanya kopi apa yang ia sajikan dengan logat Inggris yang jika orang baru mendengarnya tentu akan tertawa terbahak- bahak.

Ibu tua itu tersenyum kemudian menjelaskan bahwa kopi yang ia buat adalah kopi olahannya sendiri, Travispun hanya mengangguk-ngangguk pertanda ia setuju.  Tidak lama kemudian Travis meminta ijin padaku untuk membeli rokok di warung sebelah dan saat Travis pergi itulah aku bertanya pada Ibu tua itu apa benar bahwa kopi yang disajikan itu adalah kopi racikannya karena menurutku rasanya sangat tidak enak sekali dan bahkan aromanya tidak lebih daeipada aroma jagung bakar bukannya aroma kopi. Si ibu tersenyum dan bercerita bahwa memang kopi yang di sajikanya adalah kopi instan yang telah ia campur dengan jagung. Kemudian iapun bercerita kepadaku kenapa ia melakukan hal tersebut.

Tiga tahun yang lalu sang Ibu tua ini menjanda karena suaminya meninggal karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan, Sang suami adalah seorang veteran tentara yang menurutnya telah ikut berjuang semasa jaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan kehidupan mereka memburuk, suami yang hanya berpangku pada tunjangan pensiun itu tidak memberikan kecukupan bagi keluarganya, mereka tidak mempunyai anak namun kesehariannya ia harus menghabiskan uang pensiun itu untuk membayar pungutan-pungutan yang harus ia penuhi karena ia tinggal di tanah milik instansi pemerintah yang setiap bulannya mengwajibkan ia untuk membayar sewa.

Sang suami dari ibu ini adalah seorang pecinta kopi juga sehingga setiap hari harus tersedia kopi saat sang suami masih hidup dan bahkan dalam satu hari ia harus menyedian sampai lima gelas kopi untuk sang suami padahal kondisi ekonomi mereka sangatlah tidak memungkinkan untuk membeli kopi terutama di jaman saat harga bahan pokok naik dan harga-harga melambung tinggi. Namun demi kecintaannya kepada suami itulah si Ibu kemudian mengolah jagung-jagung yang ia peroleh dari pasar menjadi kopi untuk suaminya. Dan nampaknya sang suami tidak pernah mengeluh walaupun ia tahu bahwa yang ia minum adalah jagung walaupun ada sedikit kopi didalamnya, menurut suaminya yang ia butuhkan bukanlah kopi atas rasa atau sebuah eksistensi rasa dari kopi itu sendiri namun semangat dan cinta yang tertuang dalam kopi tersebut.

Aku lihat mata Si Ibu tua ini mulai berkaca-kaca menceritakan tentang suaminya sehingga ia bisa bertahan sendiri dengan membangun kedai kecil dari sisa-sisa pensiunan almarhum suaminya.

Aku diam dan menunduk malu karena tidak bisa merasakan apa yang terkandung dalam kopi itu dan malah menilai bahwa kopi tersebut tidaklah enak sama sekali. Travis sudah kembali dari warung yang letaknya beberapa ratus meter dari kedai kopi tersebut dengan muka yang berbinar-binar sambil berkata padaku untuk memesan kopi sebagai persediaannya selama perjalanannya di Jawa timur dan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada sang Ibu. Ibu tua itu menangis haru dan menyuruh kami untuk menunggu lagi sementara ia akan membuatkan kopi untuk kami.

No comments:

Post a Comment