Saturday, December 17, 2011

Harga Sang Sepatu

Prajurit itu tidak membeliku, mereka hanya menerima apa yang seharusnya menjadi penyelamatnya. Aku adalah pensiunan sepatu boot sang prajurit yang telah mati terkena penyakit hati.

Saat peperangan manusia belum lagi dimulai akupun hanyalah selembar kulit kering yang mencari titik nadirku dalam sebuah kehadiran hidup hingga sepersekian waktu aku berpasangan untuk tuanku. Aku tidak mengeluhkan keberadaanku karena aku bukan prajurit yang berperang terlepas dari masalah harga diri ataupun hanya karena perbedaan.

Aku menjadi sangat bangga karena melayani tuanku di masa peperangan yang sering menjerumuskan aku pada suatu keadaan anomali yang seharusnya aku bisa mengahardiknya sebagai seorang setia  yang hanya bisa diam. Saat perang sedang berhenti tak jarang tuanku menyemir aku hingga menjadi sosok seorang laki-laki dengan kebanggaannya, terlebih ketika uang 10 ribu yang diberikan tuanku di terminal itu kepada seorang anak kecil yang tidak beralas kaki menjadi manfaat besar bagi dia. Aku bangga bisa menjadi mata pencaharian orang di sekelilingku.

Ketika berperang, aku bukanlah hawa nafsu atau harus takut untuk mundur karena aku tahu kemana langkah harus kuikuti walau terkadang sang prajurit, si tuanku itu harus bersembunyi dan membuka egonya sendiri sebagai manusia. Menurutku bukan kepahaman saja ketika aku harus menjadi pengikut setia karena aku sudah ditakdirkan seperti itu tanpa harus peduli kenapa aku suka menjadi sepatu.

Jika sebuah norma adalah bentuk pemahaman yang menjadikan kenapa harus mengerti dan eksistensi siapa aku dan siapa aku. Lalu kemudian berapa banyak lembaran yang harus terjawab padahal jawabannya adalah ada dalam kepala mereka. Aku sendiri sudah banyak melalui peperangan manusia yang katanya adalah harga diri dan mengikat norma tak terelakan seperti kami tidak pernah punya hati. Seorang bawahan tunduk kepada atasan dan atasan tunduk kepada Yang Teratas, lalu dimana letak rencana manusia yang kemudian berusaha menang terhadap manusia lainnya? apakah ada pemahaman.

Sekian waktu mungkin kebanggaan akan hilang mengingat waktu terus berjalan dan menjadi usang, saat kematian tiba. Sang tuan, si perkasa dalam perang, si pemanggul senjata dan setia terhadap atasan serta norma memilih mati karena penyakit hati memecah belah logika saat perempuan yang dicintai mulai berlati dan mulai tidak cinta. Aku sempat bertanya apa itu kesetiaan pada beberapa jejak kulangkahkan saat perang namun jawabannya hanya ada disebelahku. sebuah ukuran dan cermin terbalik yakni pasanganku. Maka mungkin aku tidak akan di katakan sepatu jika tidak berpasangan. 

Sebenarnya bukan logika saja yang mati jika harus paham nurani sebagai hidup entah manusia atau bukan, toh yang lain hanya bagian dari alam semesta yang berwacana hingga jawaban yang harus dicari adalah bentuk mengerti terhadap apa yang di tanyakan.

Ketiadaan itu sudah dimulai, dari tuanku yang kini hanya memiliki secarik kafan dan nisan tanpa logika. Kepahlawanan mati dan sang juara adalah cinta!

Di rak sepatu yang semakin berdebu tanpa tuan akupun mulai usang dan sudah hampir jelas aku tidak memberikan lagi manfaat tanpa sepasang kaki berani atau sepasang kaki lain selain tuanku sang prajurit. Malam hari Anjing yang lewat depan rumah tuanku mencuri pasanganku hingga keesokan paginya aku sendiri kehilangan bentuk renunganku yaitu cerminanku dan pelengkap eksistensiku.

Lalu apa? aku tidak mati hanya kemudian menjadi sampah setia dan sebuah bentuk kenangan yang terpajang pada kulit-kulit keriput tanpa harga.

No comments:

Post a Comment