Monday, December 26, 2011

Nilai Mata

Nilai sebuah kejujuran yang berbanding lurus dengan mata tidak bisa di bagi lagi dan terbalik pada nilai sebuah mata, itu adalah bukan sebuah teori yang menggambarkan relativitas yang dikemukakan Enstein ataupun wacana realitas yang ada pada diri manusia. Namun sebuah kisah selalu bergambar bahwa nilai kejujuran adalah sebuah kebutaan yang paradoks, tidak terartikan dalam keberpihakan atau subjektivitas mata dan dalam hal ini adalah bagaimana mata melihat.

Bagaimana sebuah lambang keadilan tergambar sebagai seorang perempuan yang ditutupi matanya kemudian memegang neraca yang berimbang, apakah sekaligus menyerukan bahwa jujur adalah bukan keberpihakan entah secara naluri, hati ataupun akal? lalu dari mana perimeter asil dalam skala manusia? Adil dan jujur?

Dalam dongeng dan tokoh superhero banyak yang menjadi adil dalam versinya "seorang pahlawan", yang tidak ada dalam aturan hukum namun mengadili secara realita kebutaan hukum. Ada si buta dari gua hantu yang berjalan dengan tongkat mencari keadilan membela yang lemah kemudian si buta-buta lainnya, lalu bagaimana dengan tokoh pahlawan yang tidak buta yang notabene juga seorang manusia?

Asrul adalah seorang pemuda yang mendebatku tentang kejujuran ada pada mata, di sebuah warung dekat persimpangan di kota Wangon yaitu persimpangan menuju Cilacap dan Purwokerto. Aku memesan sebuah kopi karena rasa kantukku yang sangat luar biasa setelah perjalanan yang cukup panjang dari Jogjakarta. Asrul memesan secangkir kopi tanpa gula seperti yang aku pesan dan kemudian dia berceloteh bahwa yang diminumnya adalah bukan kopi yang sudah sangat jelas nampak oleh mataku itu adalah kopi yang sama disuguhkan oleh penjual warung itu padaku. Asrul naik pitam dan berteriak bahwa dia merasa tertipu oleh penjual warung itu, hingga akupun melerai nya dan ikut menjelaskan bahwa benar yang diminumnya adalah kopi.

Aku bisa tahu bahwa Asrul buta karena kulihat ia memakai tongkat dan matanyapun tak kulihat memperhatikan kearah sekitar, Asrul bercerita bahwa dia tidak suka dengan ketidak jujuran dan tidak suka ditipu terlebih mengenai rasa yang ia tahu yakni kopi yang selamanya ia konsumsi dirumah adalah kopi murni tapi kemudian kini ia tertipu karena kopi yang disajikan adalah kopi yang sudah berjampur dengan jagung. Ia tidak terima hal tersebut.

Asrul bertanya padaku tentang nilai kejujuran, apakah mata yang melihat atau justru tanpa mata ia adalah kejujuran yang tidak tampak? akupun menjawab tergantung darimana persepsi orang menanggapi letak kejujuran seperti apa yang ia tanyakan.

Asrul adalah seorang pemuda yang mungkin berumur 21 tahun dilihat dari usianya, dan dari gaya bicaranya tentulah ia sering mendengarkan berita dan membaca. Itu terlihat dari wataknya dan kepintarannya mengolah kata hingga akupun tentu tak bisa mendebatnya. 

Setelah dia mendapatkan jawabanku dia diam, kemudian dia berkata padaku bahwa kejujuran adalah nilai utama yang datang bukan dari mata, mulut ataupun nurani, kejujuran adalah nilai tertinggi dari kemanusiaan yang manusia sendiri akan susah melakukannya. Kemudian dia bercerita bagaimana ia di ajari semenjak kecil tentang bagaimana membaca dan mengolah lingkungan menggunakan indra lainnya sehingga ia peka dengan sekitarnya.

Saat masih kanak-kanak Asrul bersekolah ditempat orang buta, entah itu huta sejak lahir ataupun buta karena kecelakaan. Disekolahnya sering diadakan kompetisi olahraga dan itu termasuk olahraga sepakbola. Menurut gurunya olahraga sepakbola orang buta ini akan menjadi sangat menarik untuk dipertontonkan karena akan sangat tidak biasa dan tentunya akan banyak penonton yang datang dan menyumbangkan dana untuk yayasan tersebut.

Di hari pertandingan, yang Asrul tahu hanyalah berdiri ditengah lapangan tanpa tahu kemana dia harus bergerak dan bentuk bola saja dia tidak tahu yang kemudian semua peserta pemain bola itu akhirnya harus merangkak mencari bola yang bundar dan ia tidak ketahui bentuknya. Itupun yang ia dengar hanya suara keras dari pemandu atau komentator yang disertai gelak tawa orang- orang yang menontonnya. "Aku jelas tersakiti!", kata Asrul. Ketika semua itu adalah sebuah bahan candaan saja terhadap kejujuran kami yang tidak pernah mengetahui sepakbola dan rupa dari bola yang harus kami tendang, itupun kami tak tahu arah. Kemudian Asrul meraba-raba mencari batu di lapangan itu untuk kemudian dilemparkan kearah suara yang melengking yang ia tahu adalah suara gurunya, dan ia lemparkan batu itu hingga kepala sang guru berdarah dan dilarikan ke Rumah sakit.

Sejak kejadian itu Asrul dikeluarkan dan banyak belajar dirumahnya, yaitu dengan mendengarkan berita di televisi dan radio yang ia dengarkan. Kemudian menyimpulkan bahwa tak ada cara untuk mengetawakan kejujuran jika tidak punya mata yang hanya hisa menilai entah itukebaikan atau kejahatan. Walau itu hanya sebuah simbol bahwa mata tidak pernah bohong dan akan lebih baik lagi jika tak ada mata yang melihat. Tidak pula hati yang juga dipenuhi emosi atau pikiran yang mengacaukan dan terpengaruh satu sama lain.

Bahwa kejujuran adalah kebutaan seorang manusia 

No comments:

Post a Comment