Wednesday, December 14, 2011

Berpikir untuk Tidak Berpikir

Aku terlahir sebagai seorang tikus dan dengan sangat berbangganya aku akan berkata bahwa aku adalah seorang tikus.  Seorang atau seekor tidak menjadikan ku masalah apakah aku adalah seorang tikus ataupun seorang tikus, bukan hanya karena manusia terlanjur membenci aku and merasa jijik tapi aku hidup karena ditakdirkan menjadi seekor tikus yang disamakan dengan manusia. 

Bangga? tentu! walaupun aku harus terusir dari habitatku. 

Ditempat aku dilahirkan sungai disamping rumahku adalah surga bagiku karena banyak serangga dan biji-biji tanaman yang aku bisa makan memenuhi naluri ku sebagai mahluk hidup walaupun aku hanya seorang tikus.  Akupun tidak perlu surat tanah atas rumah kepemilikan orang tuaku yang mempunyai sebidang tanah disamping Kali Grogol yang dulu sangat kucintai. Hari ini aku terusir!  bukan karena pegawai pemerintah yang meng-eksekusi atas tanah kelahiranku namun karena aroma kali yang semakin hari membuatku mual. 

Serangkaian pembangunan tercipta oleh manusia dan aku hanya bisa mengais sampah sisa-sisa mereka. lalu apakah aku? pemakan sampah yang juga konsumtif atau justru karena aku bertarung mati-matian saat aku tidak lagi bisa mendapatkan bijian untuk makananku. Sayangnya aku hanya tikus dan tidak bisa membeli bahan makanan yang di impor oleh manusia.

Kami berkembang biakpun secara cepat, maklum di kalanganku tidak mengenal adanya keluarga berencana walaupun aku tak tahu rencana dalam sebuah keluarga itu apa, yang aku lihat secara nyata adalah banyaknya perceraian dan dan polemik-polemik lain yang terjadi sehingga menghilangkan kesakralan pernikahan itu sendiri. Untung juga aku tikus, aku tidak punya norma kesukuan dan budaya 'pamali' dalam keluargaku. 

Aku adalah binatang pengerat, namun kendatipun begitu aku tidak serakah karena aku hanya memakan apa yang aku butuhkan. Jika kemudian manusia menafsirkan aku adalah rakus maka aku pikir yang mereka pikirkan adalah kerakusannya itu sendiri. Bukankah mereka sendiri yang membuat slogan bahwa manusia tidak pernah puas!. aku bukan manusia, aku seekor tikus yang mendadak menjadi seorang tikus.

Aku kenal pemimpinku dan dialah panutan kami dan lewat beliaupun kami diajarkan untuk bangga menjadi tikus. hidup didunia kegelapan tanpa internet dan gadget-gadget canggih yang mengatas namakan memperpendek jarak silaturahmi. Aku bahkan masih bisa mengajarkan anak-anakku beretika dan tahu cara mengenal mereka sendiri tanpa harus berpandang pada layar hingga mulut tak lagi bicara, melainkan tombol-tombol kecil pada komputer atau handphone yang dengan gampang bisa berpuisi atau berteriak kritis.


Otak aku kecil jika dibandingkan dengan otak manusia, tapi aku tahu betul disiplin adalah tidak menyerobot lampu merah ataupun membuang sampah sembarangan. karena aku tahu lingkunganku dan menyerobot berarti mati bagiku, anak-anak tikus pun tahu hal itu melebihi manusia, toh sampah apa yang akan aku buang. 

Suatu hari hujan aku mencari sesuatu untuk alas tempatku tidur, udaranya dingin dan mungkin akan banjir karena aku sendiri kini tinggal di sela-sela gedung yang rapat. Saluran-saluran air telah rapat oleh pondasi beton serta aspal yang panas. Aku menemukan koran di dapur sebuah keluarga, disana tergambar seekor tikus berdasi sedang mengantongi banyak uang kemudian tertulis bahwa dia adalah seorang pejabat. 

Sayangnya aku tikus dan tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik aku sebagai tikus karena tempatku tidak ada polisi ataupun mahkamah konstitusi tempat mengadukan urusan-urusan manusia yang katanya hal itu merupakan kasus pidana. Siapa yang harus aku tuntut?.

Aku dengan baik mengenal lingkunganku dan tentunya aku mencintai alamku sebagai anugrah dan keseimbangan yang terbebankan padaku. itulah lumrahnya, jika manusia kemudian hanya peduli dengan kemajuan dan kantong mereka, apakah aku lebih baik dari mereka?.

Sebutlah aku bodoh karena tidak ada sekolah tikus yang mengajarkan bagaimana kami menjadi tikus yang baik ataupun jahat. Bahkan kami tidak bisa memutuskan yang terbaik dan yang buruk untuk aku, tapi pernahkah terpikir yang membuat perbedaan besar antara aku dan manusia adalah otak mereka yang bisa dengan gampang berpikir kemudian diiringi hawa nafsu mereka untuk kemudian menjadi orang baik dan orang jahat?!. Pertanyaannya adalah kenapa mereka tidak bisa mengendalikan pikiran mereka?.

Kami tidak mencuri karena kami butuh makan dan tidak punya norma, jika aku mengambil makanan di dapur seseorang maka orang tersebut teledor tidak bisa menjaga dapurnya masing-masing. Kami hanya bergerak sesuai naluri dan tidak berpikir! Itupun karena kami merasa terusir sehingga pada akhirnya kami harus memakan sisa-sisa manusia, secara insting kami hanya memakan apa yang kami temui. 

Jika aku takut pada seekor kucing maka mungkin itu adalah sejarah karena saat inipun kami harus ditambah permasalahan sang kucing ini hingga kamipun harus tetap tegap berdiri dan diam-diam memperjuangkan hidup kami, dengan kata lain kami berbeda spesies dengan kucing yang juga sebetulnya mereka bergerak sesuai naluri dia dan sebagai bentuk keseimbangan alam yang diciptakan Tuhan. kemudian pertanyaannya adalah apakah manusia yang saling bunuh dan menindas serta peperangan adalah bentuk keseimbangan juga?

Jika boleh, aku akan berpikir untuk kemudian aku tertawa?! Boleh??

No comments:

Post a Comment