Saturday, December 17, 2011

Di Belakang kewarasan

"Hei orang gila!", teriak beberapa orang disekitarku. Aku sendiri berada pada sebuah persimpangan jalan menuju kepada kebaikan dan kejahatan sehingga cukup aku bingung dengan kedua tawaran ini. Dan tentu sudah jelas aku tentukan kebaikanku sendiri tapi dalam proses bingung itu aku dihadapkan pada orang gila dengan pemahamannya.

Orang yang menyebutku gila adalah Tun yang memproklamirkan kepada khayalak sebagai orang waras. Dia melemparkanku uang seribuan dan menyusuhku mengejar hidup, sementara aku tertegun pada norma waras dan kegilaan yang terlontar dari kata-kata mantan sahabatku ini. Putusnya sahabat ini hanya karena kata 'gila'! 

Wacana antara gila dan persimpangan ini sudah menambah bingungku sebagai manusia yang memilih sementara pakaianku sudah cukup lusuh untuk status sosialku, lalu apakah karena status sosial dari penampilanku atau dari cara berpikirku yang kemudian merealisasikan kata 'gila' seolah menjadi terpencil dari kewarasan manusia. 

"pembeda adalah pikiran yang menumbuhkan titik kembang pada kemampuan seseorang menjadi lebih baik, terlepas dari cara berpikir sehat ataupun tidak sehat yang terpenting adalah hidup", kata Tun suatu hari sebelum dia menghujat.  Selepas itu kemudian aku menuju kotak putih tempat merenungku di baris kedua kata-kata puisi yang kuciptakan dam otakku, kulihat wajahku telah lusuh sehingga kata miskin tidak lagi tepat sebetulnya karena aku sudah merasa cukup kaya dengan karunia dan kesehatan tubuhku. Tapi tidak! struktur sosial menggeserku pada sebuah titik miskin dan lusuh hingga aku 'miskin' kata mereka.

Disekelilingku sudah tak ada lagi peralatan menulisku setelah menjual beratus lembar tulisanku seharga biaya sekolahku yang harus kubebani pada kegilaanku. Aku kemudian menjadi manusia di kala terbelit kebutuhan dan harus menentukan status sosialku tapi tidak kubeli kepercayaanku pada diriku, aku menjadi bingung dan kala itulan Tun menghujatku 'gila'.

Uang seribu yang dilemparkan Tun untukku aku perhatikan hanya secarik kertas yang juga lusuh dan berbau, Otakku melayang secara waras pada tempo hari dimana baris kedua kotakku aku tinggalkan identitasku sebagai aku, lalu sejenak kupejamkan mataku dan memasuki titik kewarasanku. Aku gila tidak? dan sedemikian gilakah aku? apakah aku juga harus mengerti apa itu kegilaan yang terpisah dari naluri manusia atau justru kegilaan dan arti gila itu sendiri kemudian menjadi baur secara medis dan kondisi psikologi terhadap struktur pemikiran antara sehat dan tidak. Apakah itu kemudian hal itu juga yang menentukan kebaikan ataupun kejahatan? atau justru itulah pemikiran alam bawah sadar kita terlepas waras atau tidaknya.

Didepanku berderet orang-orang menentukan jalan sebelah kiri dan kanan sedangkan aku masih memegang uang seribu untuk membayar toilet yang notabene kini bahkan bertarif dua ribu rupiah. Aku tidak kebingungan lalu kenapa aku harus menjadi gila!. Itulah pilihan secara sosial terlepas berapa uang yang aku pegang sekarang dan apakah aku memakai alas kaki atau tidak! 

Masih terngiang pada masa kecilku saat aku menciptakan baris kedua pada otakku yaitu kotak yang bernama kenyamanan saat itu adalah kata-kata "Makanya berpikir!". Kata-kata itu sering terlontar oleh orang disekelilingku sebagai orang yang pintar sementara aku dengan kebodohanku dan menyudutkan aku pada posisi 'gila'. Tun adalah salah satunya.

Aku dan kamarku adalah penjara berpikir pada proses ruang kenyamanan yang kemudian berubah menjadi ruang renungan. Berpikir untuk meloncati fase tapi aku tidak bisa menyuap waktu atau bahkan berpura-pura sakit gigi dan menyatakan diri untuk menunda waktu. Hasilnya aku berpikir pada kenyamananku, sedangkan itu juga tidak pernah juga menjadi terpikir atau kepikiran, aku hanya berpikir dalam menentukan dan bingung saat memutuskan tanpa bingung saat akan melangkah. 

Namun tetap aku dianggap gila! dibalik kewarasan yang tidak bernama normal ataupun akal sehat. 

No comments:

Post a Comment