Monday, December 12, 2011

Analogi pada Secangkir Kopi

Aku membeli sebuah buku kosong yang berwarna putih tiga minggu kemarin, uangnya aku dapatkan dari hasil keringatku menjual kopi disudut pasar kumuh yang kukenal sebagai surga bagi kantongku. Bagaimana tidak? sepulang dari pasar tersebut sakuku selalu penuh dengan uang yang terkadang aku merasa cukup berat membawanya, maklum uang yang kuterima berupa lempengan-lempengan logam yang beratnya hampir mencapai seperempat ons. Sebuah keramaian yang menawarkan sejuta dunia tanpa aku tahu bentuk sejuta atau berapa jumlah dari sejuta karena hasil penjualan kopiku hanya cuma 12 ribu rupiah dan semuanya hanya uang logam!. 

"Akulah mahluk paling berbahagia hari ini!" teriakku pada sekumpulan ayam yang hendak dipotong di pasar tersebut, akupun menjulurkan lidahku sebagai tanda bahwa akulah sang kuat dari mata-mata yang tidak bisa menangis namun kemudian mati di tangan ibu tua gemuk yang aku kenal sebagai Ibu Mumun sang penjagal ayam dan sang penjual daging ayam. Olehku dan kawan-kawan tak nyataku aku juluki sebagai pendekar gendut pencabut bulu ayam! Sewaktu kecil aku sering ditakuti oleh tetanggaku sesama penjual kopi instan bahwa kalau aku mencuri sesuatu di pasar ini maka Sang penjagal Ibu Mumun ini tak akan segan memotong tangan sang pencuri untuk kemudian di jual bersama ceker ayam. Itulah hal yang paling menakutkan sepanjang sejarah hidupku selain cerita tentang kamtib dari waria-waria yang berada di belakang blok rumahku. 

Uang 12 ribu yang aku dapatkan tentunya akan membayar semua kelelahanku memulung bijih kopi kering di tempat penggilingan kopi. Sebelumnya aku tidak pernah sama sekali belajar bagaimana kopi itu dibuat namun ternyata hidup tidak hanya sekedar bernafas dan bermimpi basah saat malam hari, mata inipun secara sempurna melihat yang kemudian merekam dalam dulungan otak kemudian memerintahkan kedua tangan ini untuk pintar mengambil peluang yang ada di depan mataku. Dan kemudian dari butir-butir kopi yang kemudian ditumbuk halus itulah aku belajar hidup.

Aku sendiri tidak tahu jenis kopi apa yang aku jual namun aku tahu bahwa seharusnya aku menyajikan cinta walaupun azas yang kutanam adalah azas kepentingan egoku untuk mendapatkan uang. Aku menumbuk sendiri butir2 kopi yang sudah dikeringkan itu, pemilik penggilingan kopi itu adalah seorang sanak dari ayah kakekku yang kemudian entah bagaimana menjadi saudaraku. Pada awalnya aku dilarang memungut kopi karena akan merugikannya, namun setelah diam-diam aku mengambilnya, mungkin konotasinya akan sama dengan mencuri tapi aku lebih pilih pembuktian seorang aku walaupun sebenarnya hany coba-coba semata. Aku tumbuk kopi yang diam-diam aku ambil itu kemudian kutumbuk lalu kuseduh pada cangkir seng punya pemilik itu dan dia bilang bahwa kopiku adalah kopi ternikmat didunia namun menurutnya ada kekurangan pada kopimu ini karena rasanya adalah rasa curian yang kemudian merusak citarasa kopi itu sendiri.

Aku bertanya kenapa? Sang pemilik ternyata tidak pernah punya anak semasa hidupnya dan satu-satunya hal yang ia impikan adalah secangkir kopi buatan anaknya setiap pagi yang menemani masa tuanya, menurut beliau itu adalah rasa asli dari secangkir kopi 'cinta' katanya. Dan semenjak itupun setiap pagi aku membuatkan kopi untuknya dan diperbolehkan untuk memulung kopi yang hendak digiling untuk aku ambil dan aku jual.

Aku menjual cinta!

Secangkir kopi buatanku kujual 500 rupiah, kendatipun begitu aku belum pernah memegang uang kertas Republik ini bahkan untuk menyekolahkanku negeri ini butuh surat tidak mampu yang pada proses pembuatannya tetap saja pakai uang seribu!. Sial kataku tapi aku menikmati hidupku dengan uang logam di sakuku yang kemudian bisa memberi makan kedua orang tuaku yang renta pensiunan pahlawan kemerdekaan yang kini kerjaannya hanya berjalan-jalan mencari pegadaian yang bisa menerima gadaian medali kehormatan sebagai pejuang berani mati pada masanya.

Aku sendiri lupa dimana aku hidup, atau siapa yang mengayomiku dalam hidup. Suatu ketika anak-anak berseragam berteriak padaku bahwa aku adalah mahluk yang dilindungi undang-undang seperti komodo! entahlah apa itu yang kemudian kutahu dari bungkus kopi yang belum digiling yang menyebutkan anak dan fakir miskin di lindungi oleh negara. Aku hanya bisa tertawa sinis sambil melihat bagian pantatku, jangan-jangan aku mempunyai ekor, gumamku sambil tertawa sendiri. 

Hari kemarin, hari kemarin, hari ini dan hari esok aku adalah penjaja cinta, aku menyediakan cinta lewat kopiku seperti pemilik penggilingan kopi katakan padaku tapi suatu saat ketika kutawarkan cinta dengan berteriak disudut pasar aku dicemoohnya dan di ketawakan hingga akhirnya aku tahu bahwa penjaja cinta adalah penjual seks!. Dalam pikiranku saat itu "apa benar cinta itu seks atau cinta itu kopi?". 

Tujuh hari tujuh malam aku tidak tidur memengerti apa itu cinta tanpa coba bertanya dan sialnya lagi aku tak pernah menemukannya. tapi sudahlah ini terlalu menyita otakku, lebih baik kuurusi perutku, keluargaku dan orang-orang yang kucinta!. eh... sekali lagi aku menemukan kata cinta! makin bingung aku, hingga akhirnya aku harus bertanya pada sang pemilik penggilingan kopi. Dia menjawab bahwa aku akan menemukannya dalam cangkir kopi yang aku buat!. Makin gila dan bingung aku, namun dia juga mengatakan bahwa dia mencintai Ibu Mumun sang penjagal ayam. Ini lebih membingungkan aku!. 

Hari ini aku berjualan dekat kios tempat Ibu Mumun berjualan, aku perhatikan saat sang pemilik penggilingan kopi itu mendekati Ibu Mumun dan merayunya. hmm... ini menarik pikirku. Ibu Mumun sang jagal, seorang janda anak satu itu takluk oleh perut gendut dan kumis sang pemilik penggilingan kopi. Hebat pikirku!. Ini baru cinta!. 

Sejauh aku memandang setelah berjualan beberapa cangkir kopi dan mengantongi lebih dari enam ribu rupiah yang semuanya uang logam aku dikagetkan oleh seorang perempuan sebayaku yang kutahu dia adalah anak perempuan Ibu Mumun. Sari namanya sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman, kemudian dia memesan kopiku. Dengan gemetar aku mengiyakan lalu ku ambil keranjang berisi kopi bubuk yang kutumbuk sendiri dan menyajikannya untuk Sari si perempuan itu yang tak berhenti melihat mataku. Sial kenapa aku gugup dan gemetaran!! Otakku ga bisa berpikir, pokoknya kutuangkan kopi menurut takaran yang menurutku cukup dan kuseduh dengan air thermos panas dan memberikannya ke si Sari. 

Sari tersenyum! dan aku hampir pingsan!

Ya Tuhan apalah ini? kenapa aku mendadak mati diantara keramaian saat aku sendiri merasa diketawai oleh si pemilik penggilingan melihat tingkahku dan bahkan Si Ibu Mumun ikut menertawakan aku. Aku tahu kosakata malu saat itu dan ternyata ga enak!. 

Ku perhatikan diam-diam tangan sari mulai meminum kopinya kemudian mengerenyitkan dahinya dan berkata ini adalah kopi paling enak sedunia!. Sungguh aku dibuat penasaran karena sebelum aku juga ikut merasakan jika seseorang bilang bahwa kopinya enak dengan maksud biar aku tahu kopi enak itu seperti apa dan menjadi bahan evaluasiku. 

Sepertinya Sari tahu pola pikirku, kemudian dia menyodorkan kopi itu padaku dan mempersilahkan aku mencoba kopinya. Aku mengangguk dan mencobanya, dan apa yang terjadi. Itu adalah kopi yang paling pahit yang aku temui!.

Tapi kenapa kemudian dengan kecanggunganku membuat kopi mungkin karena cinta tapi ternyata pahit!! apakah ini rasa asli dari cinta?!. Sial aku makin bingung. sementara orang-orang disekelilingku masih mentertawakan aku dan tingkahku dan Sari yang tidak berhenti senyum-senyum dan melirikku dengan sudut matanya. Lalu pandangan sang pemilik penggilingan pun seolah puas bisa menjelaskan padaku dan Ibu Mumun yang kini bergelayutan di bahu laki-laki gendut itu. Lalu ayam-ayam yang pernah ku perolok-olok itu kemudian sepertinya juga ikut berteriak "mampus loe!!!" sambil ketawa cekikikan tanpa sadar sebentar lagi golok milik sang penjagal menebas leher si ayam!.

Aku bingung memegang secangkir kopi pahit yang aku namakan cinta dengan tanganku diantara mata yang menilai, mencibir, bangga dan penuh dengan ilusi dan intrik kemanusiaan yang terjadi. 

No comments:

Post a Comment