Tuesday, February 14, 2012

Pagi #2

Satu bulan sudah aku melayang seperti buih-buih dilautan tanpa menyadari bahwa aku telah bebas, tapi aku sendiri membenci kebebasanku, kini aku tidak lagi tergantung orang lain dan orang lain tidak tergantung padaku tapi aku membenci keberadaanku yang dengan sekejap mata bisa datang dan hilang, aku benci orang-orang yang berada dekat denganku, aku benci orang-orang yang peduli denganku, aku benci dengan perasaanku sendiri yang selalu mencintai tanpa dicintai.

Aku selalu terbang menuju kegelapan yang membuat aku terperosok kekedalaman yang semakin menenggelamkanku dan membenamkan seluruh kepalaku, aku merangkak dalam kelam, seluruh badanku terpaku pada sebuah lingkaran tanpa akhir, rasa yang tidak pernah ada jawabannya, tidak bergerak maju namun tidak pula bergerak mundur. Aku statis dan cenderung melemah…. Aku tak tahu kapan aku bisa tersentak dari semua ini, selama ini yang aku tahu bahwa aku terhanyut dalam ketidaksadaranku sebagai satu dari manusia yang berbeda yang mencoba peruntungannya menaklukan dunia.

Berpihak kepada siapakah alam ini? Apakah alam ini berusaha untuk menerbangkan aku dalam sebuah garis mimpi yang sebenarnya kepahitan justru sedang menungguku di alam nyata yang kusebut hidup, apakah aku dibuai selama ini dalam jejak langkah yang hitam sejak aku dilahirkan dengan tangisan dan kemudian aku diam lalu menangis kembali, semua tetap dalam mimpi yang sama yaitu kesedihan, atau aku tidak tahu bahwa aku dilahirkan dengan gelak tawa yang memancing hidupku tanpa tangisan sedikitpun sehingga aku baru tahu rasanya menangis saat ini, ah… tapi masa bodoh, semua bayi yang dilahirkan kedunia ini dengan tangisan, entah itu tangisan bahagia atau tangisan sesal karena baru mengetahui bahwa dunia ini tak sebaik yang dikira pada waktu masih dalam kandungan, mungkin memang benar itu adalah tangisan pertamaku saat melihat dunia ini dan tangisan selama-lamanya yang menyinggapiku, lalu kemana perginya setan dalam diriku yang membuat syaraf-syaraf tawaku? Apakah sepi telah membunuhnya? Ataukah dia sudah bosan karena lelah mencoba terus sampai akhirnya menemui kegagalan!! Bahkan aku ingat betul kata-kata ibuku bahwa aku di masa kecil adalah seorang anak kecil yang gampang menangis dan bahkan hanya itulah yang tersisa dalam ingatanku sampai sekarang, itu sudah berlangsung sampai 25 tahun, aku masih belum bisa mengingat ketika ada tawa ataupun perasaan manja… sungguh menyebalkan!!
Aku sudah mencoba berpaling dari semua itu ketika aku mengetahui dan merasakan sebuah rasa cinta, tapi itu tak cukup banyak membantuku untuk keluar dari perasaan-perasaan sepi dan bahkan rasa cinta itu pula yang membawaku berpaling makin jauh dari penyadaran bahwa aku tidak hidup sendiri didunia ini dan terperosok dalam kelam saat aku hanya bisa mengingat masa-masa di mana aku dicampakan, dihina dan dikucilkan sampai saat suatu masa waktu berganti dan berpindah dari satu pelukan kekasih dengan pelukan yang lain, apa yang kudapatkan!?
Rasa penyesalan yang bertubi-tubi, satu titik yang aneh dalam satu lingkaran besar yang bernama kebahagiaan yaitu kesedihan, keterpurukan dan kehampaan. Dan semua itu adalah tanda dalam diriku bahkan merupakan sebuah kurungan hitam yang membelenggu hati ini.
Aku telah beranjak dewasa kini dan kedewasaan ini aku anggap sebagai puncak dari semua klimaks yang tertunda, “cinta”. Aku sungguh tak pernah mengharap sebuah cinta sejati aku hanya menginginkan cinta dimana ada kebahagian yang aku bisa dapat selamanya dan selalu melangkah kedepan, aku tidak mau macam-macam, aku hanya ingin dicintai sekali dalam hidupku, tidak untukku tapi untuk dirimu yang kelak benar-benar mencintaiku.
Aku sering berpikir bahwa aku adalah kategori orang gagal dan sial, tapi mungkin itu juga tidak benar karena aku sendiri mengetahui keberadaan Tuhan sang Maha Tahu, tapi disamping itu pula sisi jiwa ini berkata demikian, ataukah aku memang tidak pernah bisa mendeskripsikan apa itu kegagalan yang kualami sebagai bentuk cambuk bagi diriku. Sering aku mengurung diri dalam sebuah lingkaran yang kusebut kamar dimana tiap tepian berdiri kokoh tembok-tembok penghalang antara aku dan dunia luar sana, aku lebih banyak merenungi perjalananku yang bahkan aku sendiri belum menapak dan tak pernah kuangkat kedua kaki ini untuk melangkah. Aku sering mencaci diriku sendiri bahwa orang seperti aku tidak layak untuk tidak bahagia, aku dianugerahi banyak hal yang menurutku sangat penting dan begitu banyak hal yang dapat menunjukan essensiku sebagai seorang manusia, namun terkadang realita pulalah yang menghadangku, realita inilah sebuah kejelasan yang penting bahwa aku tak lebih dari seorang pesakitan yang murung dan pada saat itu aku tahu persis sebagai orang yang sok tahu bahwa bola dunia ini sedang berada diatas pundakku dan yang kucoba saat ini adalah menahan segala pahit getir kehidupan ini, kehidupan yang aku jalani sendiri.
Akupun tahu bahwa mungkin ini semua timbul dari diriku sendiri bahkan pada saat ini ketika aku kian membusuk menghadap kenyataan bahwa aku terlalu takut untuk bertemu seseorang dan aku berusaha untuk sekali lagi untuk menutupi segala keanehanku dengan banyak diam dan sendiri, tapi fisik ini berulangkali berontak menahan hantaman-hantaman itu menuju langsung tulang rusukku.
Pernah suatu ketika ketika aku merasa tenang saat aku berusaha menghancurkan sesuatu yang aku sendiri mengganggap sesuatu itu adalah tantangan terberatku, tapi ya…. Kulakukan penghancuran itu hingga tak berbentuk dengan kepalan tangan ini, apakah itu sebuah pertanda bahwa tiap titik kegalauan yang mengalir dalam darahku menghasilkan satu kekuatan besar yang tak dapat dilampaui ketika aku sendiri sedang merasa normal.
Aku mungkin sudah gila, pernah juga suatu saat aku mengira bahwa diri ini memang berbeda yang padahal semua itu hanya sebuah tajuk omong kosong belaka, aku tetap hanyalah seorang manusia lemah dibandingkan dengan manusia lainnya, atau mungkin itulah letak perbedaan yang menjadikanku merasa menjadi orang yang paling berbeda dari tiap manusia yang hidup di dunia ini.
Pesakitan yang berbeda tahun pertama dan kedua dimasa transisi dari kecil menjadi dewasa yang dipaksakan. Lalu kemudian membuih lagi saat kedewasaan adalah sebuah kelangkaan dalam tuntunan gerakku

No comments:

Post a Comment