Sunday, October 16, 2011

We Live in a beautiful world

Aku mendaki puncak daratan bukan mencari siapa yang lebih tinggi saat aku menapakan kaki dekat dengan peraduan senja serta saat matahari menjadi satu bidang datar yang tertangkap oleh pandangan mataku, bukan juga untuk melihat seberapa besar kekuatanku menggapai mimpi yang aku terbangkan bersama layang-layang sore itu di belakang rumahku.

Pada satu titik hidup entahlah sebuah cinta yang memerdekakan atau sebuah tujuan yang harus tercapai sebelum semua berakhir di antara dinding tanah yang kemudian akan menguburku dan memutus semua kehidupanku sehingga tidak ada lagi  inta yang terkejar.

Di antara ilalang yang mengais matahari berebut untuk cahaya di balik pepohonan yang menyentuh langit, aku merasa sangat kecil dan sangat tak berdaya ketika luka tergores duri kecil serta batuan terjal yang terkadang menimpa pundakku di jalur pendakianku. Dan betul bahwa Tuhan Maha Pencipta  yang menciptaan berjuta species tanaman serta vegetasi yang tanpa tersadar semua membawa faedahnya sendiri. 

Seekor semut yang berjalan tanpa tersesat, memanggul harapan bagi kelompoknya serta seekor kupu-kupu yang terbang bermigrasi memberi warna dari tepi vegetasi yang tertutup rapat ke area yang terbuka mencari sari bunga untuk kemudian bermetamorposis dan melangsungkan hidup mereka. Subhanallah, Maha suci Allah yang menciptakan alam ini dengan semua keindahaannya.

Di tepian lereng yang  curam alur awan yang menyentuhku begitu hampa seolah tak pernah merasa beban, saat pandang mata hanya berjarak beberapa meter saja tertutup kabut pertanda akan hujan aku sempat mencari bingkai mataku, tapi tidak kutemukan baik itu dari pandangan kiri dan kananku semuanya seperti tak terbingkai sejauh mataku memandang walaupun kabut gelap merintangiku tapi tetap tanpa batas yang terukur oleh manusia. Maha Kuasa Allah SWT atas kesempurnaan penciptaannya hingga saat kabut hilang yang terpandang hanya cahaya-cahaya teknologi di kejauhan yang tampak seperti mozaik dan kunang-kunang berwarna warni. 

Angin yang berhembus mungkin akan menusuk sanubari perenunganku akan beberapa sesal serta dosa tertapak dan sebegitu dekatnya aku di antara alam yang mengalirkan udara dari permukaan hingga tersentuh langit memohon ampunanMu. Saya tunduk kepadaMu ya Allah.

Aku tak berharap esok hari sehingga mataku benar terbuka dan melantunkan nyanyian alam ini seperti nyanyian kelelawar yang baru keluar dari kegelapan untuk mencari kehidupan di gelapnya manusia yaitu malam. 

Aku diam di puncak tertata secara struktur geologi yang membentuk gunung serta lapisan yang ada saat ini, membayangkan beberapa juta tahun lalu saat proses alam terbentuk dan saat ini berjuta metrik ton pun Kau sediakan beberapa barang berharga untuk kami manusia yang mengambil semua manfaatnya, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang melimpahkan rahmat serta berkah yang tak terhingga.

Saat kehangatan api unggun terbakar mengalir deras hangat dalam sanubari, ya Allah jadikanlah kami senantiasa bersyukur hari ini dan apa yang telah kami dapatkan. Karunia Mu begitu besar menyediakan alam sebagai tempat perlindungan kami, dengan cahaya bulan yang sama sekali tak mempunyai daya pijar namun keindahan remang cahayanya bisa kami nikmati sebagai pencerminan jati diri kami.

Biarkanlah cinta menjadi sebuah proses yang akan kami alami serta benci kami sebagai manusia rendah dan bersikap tanpa penuh kesempurnaan. Aku akan terlelap menyambut matahari terbit esok hari.

Sindoro - 1996 - Saat aku berani melukiskan diam

No comments:

Post a Comment