Tuesday, October 4, 2011

Orang Aneh yang menulis ini tidak pernah merasa aneh maka jangan dibilang aneh


Berpikirlah seperti cahaya seperti saat mendung tak terkuras oleh hujan, dia melawan namun bukan pada gravitasi yang membuat jatuh tersungkur pada masa setelah masa lalu. Bila sebuah bias cahaya yang sejenak pudar adalah untaian kata caci maka turunlah kemudian hari setelah hari besok. Hujan masih kutunggu ditengah halte bis yang sudah koyak oleh guntingan kertas yang sudah terbentuk pesawat dan merpati.

Jika saat tak kembali, jatuhkan aku untuk bagun dan kembali menyelam di dasar palung yang tak berujung, biar hidup aku untu merangkak naik dan menggenggam simpul jerami yang kau rapalkan seperti saat aku terbaring tertawa di rumah mental yang bukan rumah sakit jiwa ataupun panti jompo yang terbangun karena usia dan renta karena takut merasakan muda.

Pada posisi yang sempurna, tak kau lihat gerak tubuhku duduk diberanda tepian bangku usang sehingga hanya segaris saja pantatku menyentuh tepian bangku itu, namun jelas kesempurnaan yang hakiki seorang manusia, diam saat tak beranjak dan bergerak saat beranjak menjadi gerak atau beberapa hari kemudian akan ku buat nada tanpa orang harus mengerti yang ada cuma semua orang yang akan mengklaim dan mengadiliku sebagai orang teraneh di bumi ku ya setidaknya hanya dirumahku (sunda bumi : rumah).


Letak cahaya dibawah tak menyentuh tanah, itukah kau? hujan diam dingin kebasahan lalu masuk angin kemudian tenggelam dan saat sadar kau berenang dipadang pasir?. Haseum (sunda, haseum : asam), bau ketiak ku ini ternyata bau saat aku sendiri tak menciumnya, hanya saja beberapa orang di hadapanku bilang hujan asam, lalu aku pikir sial dibadanku, aku bahkan tak pernah makan bawang putih!.

Pernah kah kau menulis cinta saat duduk dipelaminan? seorang penghulu bertanya bodoh padaku kemudian aku bertanya padanya, apakah pelaminan adalah tempat orang bercinta? dan kemudian kepalaku di pukul oleh palu. Sial, kataku... aku hanya laki-laki dimana wajahku hitam legam namun menarik, menarik lalat-lalat yang terbang disekelilingku hingga tersadar aku bau! aku adalah abdi bagi diriku sendiri tanpa harus menunjuk siapa aku sebenarnya, bukankah seharusnya seperti itu. (sunda, abdi : aku).

Ibu, aku bisa menulis lho!!??

Dia bilang pak yu!, entahlah aku sudah cukup kurang gizi hari ini, biarkan aku menjulurkan lidahku ya pak satpam!.
Aku ingin meminum air asam dari hujan dibawah ketiak sang malam, sekali ini saja biarkan aku tidak tampak ragu atau bahkan kusut seperti kaset usang yang sudah ditidak diproduksi lagi di toko beras babah Liong!. Biar kan aku tetap memakai sendal jepit dibawah kakiku tanpa terlupa bahwa sandal ya sandal maka aku tidak memakainya di kepalaku, kalau yang dipakai dikepalaku itu sepatu! betul??!..
Aku berdiri tegap malam ini, tapi kalau lapar aku boleh kan beli nasi goreng di gerobak bang miun, terus kalau ngantuk aku tidur di pos ronda. besok aku berdiri lagi kok.. Sueer! 

Aku ingin mewarnai, boleh ga? tapi aku butuh tinta emas untuk mewarnai sehingga bisa kujual di Tanah Abang menggerus nya kemudian aku buat asbak untu abu rokokku yang terbakar tanpa pernah terhisap (sunda, Tanah Abang : Tanah merah).

Aku ingin ada dua diriku yang tanpa pernah mengira dia adalah aku, aku pasti ikat dan jadikan bintang peliharaanku! maaf, bintang ya bukan binatang sebab dia terlalu berharga untuk aku sebagai belahan jiwa aku yang memang terbelah saat aku masih berharap. bukan saja manusia namun dia juga bintang, punya lima sisi dan runcing di setiap ujungnya. 

Hujan..hujan..hujan..hujan..

Itulah aku yang menari dibawah hujan berteman filosofi dan air seni langit. Aku sarankan hari ini adalah hujan biar pake deterjen dan kemudian putih kembali lalu aku akan terlihat menawan dibawah pohon alpukat didepan rumah kamu yang kemudian aku sendiri bingung kenapa alpukat hanya berbuah sejenis kacang hijau! aku melantur dan semakin gila tanpa sebab, sial kenapa aku sendiri merasa paling normal disini, sementara pantatku saja tak menyentuh meja, maklum kata ibuku kalau orang pintar itu duduk dimeja, kalau orang belajar duduk dikursi. Ibuku pintar yah?

Mungkin kopi saja tak kan cukup, mataku menangkap bidadari kemudian lalu diam dan melukisnya. Kau tahu apa isi lukisannya? bukan bidadari yang kau tahu namun sebongkah batu unuk aku celupkan ke laut dan kemudian aku datang mencarinya namun tak pernah ketemu karena aku lupa warna batunya sehingga waktuku habis untuk memikirkan warna batunya. lalu hasilnya? aku lupa melukis batunya!.

Satu cangkir harapan saja ya?

Di atas lemari aku ternyata berdebu, sementara kopiku kurang banyak dan aku harus menyeduhkannya untuk teman-temanku, mungkin aku diam saja ya, berpuasa kopi walau aku harus tak mengerti menjadi hidup, aku jadi seniman saja yang meminum teh pahit dan mengunyah bubuk kopi karena aku harus ngantuk tanpa tertidur dikamar tidurku. Biarkan saja aku menjadi aneh dan mencintai orang aneh seperti kata kawanku bahwa orang aneh ya tetap saja orang aneh dan jangan berlagak normal. Padahal aku tidak normal sama sekali lho, lihat! kakiku saja dua!

Tambah teh ya!

No comments:

Post a Comment