Monday, October 31, 2011

Titik Nol

Tak perlu memendam senja hingga pagi jika kau sendiri tak bisa mengendalikan waktu, Keselarasan waktu adalah sebuah sinergi masa yang berjalan.  Sejauh titik pandang kau melihat tak ada bentangan waktu hingga mencapai titik saat kau berjalan, dari saat kau mulai mengangkat kakimu untuk melangkah dan kemudian berhenti pada titik terjauh mu.

Bila cinta itu ada maka malam tak kan mengikuti siang karena semua berjalan pada jalurnya begitupun kaki kanan yang tak kan mendahului kaki kirimu saat kau melangkah. Jika kau percaya maka jangan jadikan senja yang menawarkan keindahan untuk kau bawa esok hari karena semua hanya mata saja yang merekam jejak saat kau berdiri di ujung Pantai sanur untuk kemudian melenggang diam di pegunungan himalaya.

Seperti sebuah tiang yang menancap diujung savana, berkibar sebuah bendera negara tercinta Indonesia walau saat kau tak bernama dan saat kebobrokan manusia tanpa disiplin menggandeng kebengisan serta permusuhan dalam demokrasi yang tak pernah tahu akhirnya, entahlah kemudian siapa dipersalahkan namun nilai luhur sebuah simbol perbedaan yang satu dan keberanian serta kesucian yang sudah tercetak dalam dasar sosial haruslah menjadi pribadi  yang tanpa enggan berteriak bahwa cinta adalah nyawa.

Tidak lagi pohon tertebang karena serakah seorang manusia ataupun kesombongan yang terkepal saat seorang renta diam mengadahkan tangan meminta damai pada perang di ujung perbedaan. Perkawinan sang Ayah air dan Ibu pertiwi tanah yang kita pijak adalah cinta yang menawarkan sejuta senyuman bahwa damai adalah sesuatu yang terjunjung sebagai perasaan merdeka yang tanpa ada arti. 

Kau atau siapa? 

Sejauh mana jarak tertempuh? apakah diam saja sementara kaki berjalan akan sampai pada laut merah yang tanpa ada warna merah sedangkan laut biru saja tanpa warna? lalu kau dimana saat itu?

Sebuah kata saja sebenarnya aku nantikan semenjak 600 hari yang lalu saat kau tersenyum sementara aku menangis hingga kau menggandeng kedua tanganku dan melemparkanku ke negeri hujan di tepian Alaska yang dipenuhi aurora kehijauan yang sama sekali sebetulnya juga tidak berwarna. Saat itu kau memakai baju berwarna kuning dan aku melangkah pada satu langkah besar dalam hidupku.

Sementara waktu telah berlalu kini aku masih berdiri di tanah yang sedikit kucintai atas kebusukan formasi yang hampa tertata bahkan melenggang pada pencitraan dan pada saat itu kau hilang untuk tetap kembali meneruskan dua hari yang lalu dan hilang kembali saat sebuah frase dan bingkai masa lalu yang tanpa sengaja berbuah kemerdekaan untuk sekali lagi tidak kau mengerti.

Aku cuma sebuah titik. Terlalu biasa dan terlalu umum tanpa bahasan jarak dan sejauh langkah berjalan sedangkan kau tahu ini tentang kau tanpa demokrasi yang tercantum dalam sebidang tanah datar dimana tertancap tiang benderapun aku masih tak mampu meng indah kan kau dalam waktu ku.




No comments:

Post a Comment