Tuesday, July 19, 2011

Paradigma Sosial (mungkin)



Kita hidup ditopang raga kita dengan segala kesempurnaan yang Tuhan berikan kepada kita, Kita di karuniai tangan yang membantu kita mengerjakan segala sesuatu, kaki dan anggota tubuh lainnya yang secara dinamis bisa bergerak dan berfungsi pada tempatnya masing-masing. Tangan kanan tak pernah merasa iri kepada tangan kanan begitu juga tangan kiri yang tak pernah dendam karena selalu diidentikan dengan sesuatu yang kiri, dan hal-hal lainnya yang berfungsi menopang satu sama lainnya. Bagi yang terlahir cacatpun selalu ada penyeimbang yang kemudian bisa dipakai untuk melangsungkan hidupnya, sebagai contoh untuk orang yang terlahir buta maka indera-indera lainnya akan mempunyai kemampuan yang lebih, dan lain sebagainya.

Sebagai manusia kita hidup secara sosial atau bersamaan dengan manusia-manusia lainnya, baik secara struktural, kelas, gender ataupun sebuah lingkungan yang hanya menamakan diri sebagai kumpulan manusia-manusia yang hidup di dunia. Entah seberapa besar dunia yang kita tahu, namun kita batasi saja karena Kebesaran Tuhan ini hanyalah Tuhan yang tahu sedangkan manusia hanyalah satu dari sekian mahluk yang diciptakan oleh-Nya.

Kita hidup dalam lingkungan yang mempunyai keterkaitan antara satu sama lainnya, bukan saja mengenai cinta atau pasangan yang notabene memang betul kita telah diciptakan oleh Tuhan secara berpasang-pasangan, ada laki-laki maka ada perempuan. Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadikan keterikatan antara manusia satu dengan lainnya. Kita mengenal "cinta", yang entahlah apa artinya. Hubungan-hubungan itu begitu kuat yang pada akhirnya kemudian menopang segala aspek kehidupan kita. Sebagaimana kita tahu Cinta bisa membuat seseorang melupakan jati dirinya ataupun dengan cinta seseorang bisa merasa menjadi diri seutuhnya, padalah sebenarnya dia sendiri sudah utuh sebagai manusia. mungkin kata "utuh" ini salah, karena dengan menyebut kita tidak utuh akan menimbulkan persepsi bahwa kita tidak bersyukur atas kesempurnaan ciptaan Tuhan. Setidaknya itu hanya satu persepsi dari sekian juta persepsi yang akan timbul.

Sudah jelas bahwa kita membutuhkan orang lain untuk kita melangsungkan hidup, sebagai contoh kita membutuhkan makanan, makanan dijual di pasar, pasar berasal dari petani, dan selanjutnya seperti rantai yang selalu berkaitan hingga berhenti pada asal rumus penciptaan Tuhan menciptakan manusia.

Diantara hubungan-hubungan dan keerikatan antar manusia itu kemudian timbul beberapa teori yang mendasari hubungan-hubungan manusia berdasar dari pikiran yang telah dikarunakan Tuhan kepada kita. Teori yang meliputi daya pikir yang kemudian menunjukan tingkat kepintaran dan kecerdasan, daya pikir juga yang melandasi kita terhadap tingkat emosional, pencarian jati diri dan bagaimana ia menghadapi kehidupan yang misterius ini. Kemudian timbul juga paradigma-paradigma diantara lingkungan yang bisa kita namai dengan kemasyarakatan.

Paradigma secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Secara terminologis paradigma adalah pandangan pendasar para ilmuwan entang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan.

Terlepas dari beberapa pengertian diatas, paradigma dapat juga diartikan sebagai dasar pikiran seorang manusia yang mencakup didalamnya cara pandang dan sebagainya. Kemudian hubungannya dengan perilaku sosial manusia satu dan manusia lainnya adalah beberapa hal yang mendasari pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang yang berada dilingkungan kita, dan kemasyarakatan adalah salah satunya.

Kita membutuhkan pekerjaan untuk "menghidupi" kita dengan cara membeli bahan makanan dari "penghasilan" kita, ataupun dengan persepsi-persepsi lainnya tentang "menghidupi" diri kita. Ada berbagai cara untuk bekerja bahkan mungkin jutaan hal yang juga mungkin kita tidak pernah menyangka akan hal itu. Ada yang meng "halal"kan segala cara untuk menghasilkan uang, namun ada juga yang berusaha untuk tetap "halal" dijalannya. Dari beberapa cara yang kita tahu terkait dengan hubungan kemasyarakatan yang hidup disuatu kecamatan, kemudian, kabupaten, propinsi dan pada akhirnya hidup disuatu negara, tidak terlepas dari beberapa serangkaian proses yang kita lakukan untuk mendapatkan ijin pekerjaan, tentunya karena kita mentaati sebuah sistem yang kita sebut sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah. Siapa itu pemerintah? tentunya juga hanya orang biasa yang hidup dikalangan kita dan dipercaya sebagai wakil dari kita untuk mengelola dan menjalankan sebuah tatanan sistem sebuah negara.

Dari tatanan tersebut kemudian kita mngenal adanya "birokrasi" yang diartikan sebagai "segala sesuatu yang berurusan diatas meja". (arti yang aneh). Kita tahu kertas dan tanda tangan yang kemudian menjadi kekuatan yang sangat luar biasa, namun apa essensi dari birokrasi? sekali lagi menurut salah satu persepsi diantara berjuta berpersepsi mungkin itu adalah sebuah bentuk ketaatan kita terhadap sebuah sistem yang diakui oleh pemerintah kita dan kita menyetujuinya. (mungkin!). dari mana dasarnya? (mungkin) karena telah ditelaah dari beberapa sudut yang menurut pemerintah adalah yang terbaik untuk keberlangsungan "hidup" kita. Ada yang disebut RUU (Rancangan Undang-Undang) yaitu sebelum undang-undang itu ditetapkan dan kemudian undang-undang itu sendiri dan peraturan-peraturan lainnya. Dan tentunya sebagai warga yang baik dan benar tentunya kita akan menaati peraturan tersebut karena juga dipercayai hal tersebut merupakan suatu jaminan keamanan bagi kita dalam suatu negara, baik itu berinvestasi, berdagang, bertani, kepemilikan dan lain-lain.

Namun ada sebuah paradigma sosial yang mungkin terjadi diantara kita berkaitan dengan birokrasi yang harus kita lewati beberapa tahap, yaitu : "uang mengalahkan segalanya!". Apa betul? apa ada kaitannya dengan "korupsi" yang sering terjadi dibelahan dunia ini? apa betul birokrasi itu dibuat untuk memudahkan kita tanpa menyulitkan kita? apa betul kita harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka "birokrasi" ini?. Dan sebagai warga yang baik tentu akan menjawab, iya kita akan mengikuti aturan yang berlaku. Namun kenyataan apa yang ada di lingkungan kita? mungkin harus diulangi lagi bahwa"uang mengalahkan segalanya" bahkan bisa mempercepat dan memperlancar birokrasi. lazimkah? atau wajarkah? tanpa merendahkan profesi yang berurusan dengan birokrasi ini namun terkadang kita harus berhadapan secara samar masalah ini, kita dihadapkan pada sebuah dilema dimana kita menginginkan perijinan yang cepat dan lancar, namun dipersulit karena tidak ada "pelicin" didalamnya, sebagai warga yang taat tentunya ingin mengikuti aturan dan menyetujui tarif-tarif yang ditentukan, namun persoalan "tarif pelicin" ini bagaimana?. Pada akhirnya kita menyerah dengan keadaan!

Sebetulnya apa yang kita hadapi diantara manusia-manusia dan keterikatannya? sistem? cinta? atau hanya basa-basi?








No comments:

Post a Comment