Sunday, September 11, 2011

Inferno

Tak kan pernah sungguh untkluk bercerita bila nada dusta tetap saja menjadi pelana, bukan untuk menjawab sebuah tanya karena tanya itu sendiri tak pernah ada lalu kemudian kata hanya menjadi keluhan dan kiasan yang mengibaratkan sebuah janji tanpa nama. 

Pernah  bermimpi tentang hujan yang sayup terlupa, dia selalu saja diam tanpa sedikitpun bahasa yang meyakinkan itu cinta atau bahkan kepercayaan yang seharusnya memberikan kehidupan dan ketenangan. Aku telah berbohong kawan, teman dan sahabat-sahabatku. Aku masih menunggu hujan di persilangan nada-nada sinkopasi yang tersusun di rima laguku, sebuah lagu tentang hujan dan jazz yang memporakporandakan jiwa merdeka ku.

Bila jalan yang kupilih adalah masa dimana aku harus berdiam dalam hujan serta tanpa alas atau bahkan penutup kepala maka biar aku mati sekali lagi saat kau berteriak bahwa hujan ini membuatku kembali menapak dalam kolam asa. Sepertinya saja aku menjadi manusia yang buta karena aku hilang dan kembali hilang yang sangat gampang sekali salah kemudian berusaha benar dan kembali salah.

Aku tak mempunyai ragu dalam jalanku yang akan menggiringku menuju tempat dimana aku akan selalu menunggu hujan tanpa kata. 

Akan kuseduh kopiku sendiri dengan sisa tenagaku dan aku akan berdiri menunggu air turun untuk cangkir kopiku yang semakin menguning tidak pernah dicuci. Semakin pahit aku mencari rasa maka aku akan tenggelam dalam hujan dengan kopi ditanganku. Biar saja alunan nada yang kau tautkan aku dengan hidupmu  berjalan harmonis tanpa iba.

Aku akan melaju menuju batas usiaku tanpa atau dengan kau siapapun yang tidak suka hujan diatasku, dan aku akan menjadi manusia dengan tingkat keegoisan yang tanpa batas karena otakku terkurung dogma yang perlahan mencintaiku dari belakang. Aku pun takkan kembali bertanya saat secangkir penuh kopi dinginku tergenggam oleh tanganku dan ditangan kiriku mengadah doa harap akan hujan. 

Aku sementara berdiri dalam terik dan akan mengering dalam hitungan waktuku.

Pinjamkan aku pelangi biar kucoreng moreng muka legam ini dengan ketulusan hati sang pelangi dan kesucian kata Tuhan dan doa yang mengumandang selalu meminta. Biarkan aku menjadi pelukis mimpi yang terkenang saat malam datang dan terlupa saat siang membunuh senja hingga saat malam.kembali datang dan aku kembali menjadi mimpi sebagai bidak yang akan dikorbankan untuk sang Ratu.

Kawan.. pernahkah kau menjadi aku? tentu tidak bukan? karena kau tak pernah menjadi aku sampai masa dimana kau bukan kau dan aku bukan aku. Selebihnya aku dan kau tidak pernah mengerti.

No comments:

Post a Comment