Friday, December 17, 2010

dia menari


dia diam tanpa pernah berkata, dia juga selalu riang dimata namun jauh dari pandangan serta hati yang merasa dia menangis bukan karena terlalu cinta akan hujan, namun pada dunia dia enggan berkata sedih.

suatu hari dia menari diantara rumput-rumput padang ilalang luas, diguyur hujan senja transisi gelap menuju hitam, betul tak ada rembulan saat itu. cahaya lampu yang menelisik dari sudut kotapun hanya membayang remang ditepian kali yang kini sudah berwarna legam oleh karena cerita kerakusan manusia.

disatu masa saat petirpun beirama gemerlap, dia masih menarikan tangisannya hingga sungai mata menelusuri raga turun menuju jiwa.

"apa kau menangis?"

dia masih memutar seluruh tubuhnya seolah berdansa dengan angin yang memeluknya dan meliuk-liuk laksana rumput yang tanpa arah mengikuti gelombang air hujan. berseling tiupan angin yang bersiul dengan kencang serta dentuman petir dia masih menari dengan diam. raut wajahnya mempesona laksana dewi, gurat wajah serta matanya menandakan kebebasan namun hampa.

malam telah datang kawan, senja murung tak berpihak dengan angin kali ini. dan hujan berhenti.
betul dia menangis... berpisah dari senja bernaung gema sesaat menghilang tanpa bayang.

lalu dia bertanya dalam sujud setelah kelelahan menari..

"Apakah aku, Tuhan?"

setitik noda yang terbuang dari jelaga berbagi nurani pada tiap tetesan hujan.. namun tak pernah kembali seperti masa lalu, atau masa sekarang

"Aku enggan menjadi manusia"

"dibalik nada kerinduan yang hampa bukan nada ataupun masalah siapa berkata, semua orang punya nurani bahkan jiwa, namun hati bukan juga eksistensi manusia ataupun essensi manusia, mereka cuma ego dan pembelajaran haarus dimana kita memposisikan kita. "jawab sang angin

dia memalingkan wajahnya ke atas saat gemuruh angin pertanda hujan sudah berhenti kemudian diam lebih diam dari sebelumnya.

No comments:

Post a Comment