Saturday, December 14, 2013

Setoples Selai dan Sesendok Bubuk Kopi (epilog)

Entah berapa lama aku lupa bagaimana melukis dan menulis tapi tentu tetap bahwa "aku" adalah bukan meng-aku-i bahwa sebait puisi dan secarik kertas yang pernah tertulis itu adalah sebuah akrya seni yang yang juga tak pernah butuh untuk di-aku-i baik untuk ku sendiri ataupun untuk semua yang menemukan kepingan kepingan dan tautan yang menjadi penyambung rasa dan inspirasiku selama ini.

Hari sudah selesai hujan dan hujan akan tetap datang sebagai berkah hari dan berkah semua orang, tentu untuk yang memahami bahwa hujan bukan sekedar hujan yang turun namun pemaknaan yang lebih dalam tentang hidup, yang mungkin semua orang mendefinisikan arti hidup mereka dengan caranya sendiri. Seperti kisah cinta yang begitu beragam warna dan alur cerita, entah itu pesakitan sebagai "korban" ataupun sebagai manusia yang mengalami transformasi dari "tidak tahu" menjadi "paham" atau setidakya mengerti alur yang harus di bawa pada setiap detik perjalanan hidup.

Secangkir kopi mungkin akan terasa nikmat bagi penikmatnya dan sepiring sarapan tersaji yakni roti dan selai kesukaan setiap pagi, sebuah energi dan cinta serta berkah Illahi atas karunia pagi mendapatkan dirinya masih tetap tersenyum dan melihat pagi sebagai langkah awal bagi hidupnya. Namun secara objektif tentu bukanlah perkara roti tersaji atau bercangkir-cangkir kopi yang dapat memberikan semangat menyongsong hari, atas dasar persepsi dan perspektif semua orang memiliki cara pandangnya mengenai sajian ini, sarapan yang bertema "energi" dan "semangat" penuh menjalani hari. Tapi pernahkah terbayang jika kemudian ketika kau terbangun pagi hari kemudian yang dapatkan hanya setoples selai dan sesendok bubuk kopi yang ada di hadapanmu, apa yang akan kamu lakukan?

Sebuah perpspektif panjang memang ataupun sikap dan pikiran kenapa harus bubuk kopi ataupun toples selai yang berkesan "menggantung" tanpa ada eksekusi yang jelas terhadap aplikasi sarapan yang menyiratkan semangat dan energi hidup dalam menjalani hari.

Berangkat dari ketidakpahaman dan mengenai esensi yang ditemukan dari beberapa proses waktu baik itu cinta dan kaidahnya dengan "alam" sebagai media hidup yang kemudian mengalur dalam proses cerita tanpa nama tanpa tokoh ataupun plot kejadian yang meng-ular seperti cerita bersambung dan nikmat dihidangkan layaknya sarapan dengan menu yang lengkap (roti dengan selai dan secangkir kopi).... TIDAK!!! Sarapan kali ini adalah setoples selai yang jika kamu makan hanya selainya saja kau akan merasa mual karena terlalu manis dan menggigil karena merasakan manisnya selai tersebut, juga sesendok bubuk teh yang bila kau cicipi akan terasa pahit dan membekas hitam yang tak larut menempel di gigimu. Sama sekali tidak nikmat dan tak bersemangat untuk sebuah cerita indah saat sarapan pagi dan menjelang siang.

Kenapa harus menu sarapan?

Sarapan jelas tentu mempunyai posisi penting dalam alur hidup, bahkan beberapa ilmuwan atau ahli gizi yakin bahwa pola makan dan kaitannya dengan energi tubuh akan ditentukan oleh "sarapan", setidaknya itu yang terjadi pada diriku....

Sepiring sarapan pagi hari bisa membuatku tahan seharian untuk tidak makan, namun jika tidak menemukan sarapan, apa yang terjadi? laper!!!! maka dari itu mungkin saja kemudian otak ini akan berpikir seberapa penting sarapan bagi hidupku ataupun cerita yang harus kuingat untuk kemudian kutuliskan menjadi sebuah rangkaian yang tidak berangkai dan cerita yang penuh dengan ke"tidak menarikan" dan tak ayal malah menjadi sebuah perspektif waktu dari sang empunya yakni aku yang tidak meng-aku-i, setidaknya kelihatannya seperti itu.

Bukan siapa atau kisah siapa tapi kenyataannya adalah presisi mungkin saja membutuhkan ukuran yang tepat, angka ataupun kuadran tertentu dari garis imaginer, horizontal atau vertikal yang bisa berarti massa, ukuran luas, waktu ataupun penanda lainnya tapi ternyata "presisi" bisa juga sebuah "rasa" yang tak mempunyai digit angka yang berderet untuk diukur ataupun keseimbangan hakiki yang adil, bisa saja condong ke kiri atau ke kanan ataupun mengikuti aturan aturan yang berlaku pada sebuah presisi gambar yang ada hanya perspektif bentuk serta banyangan yang bukan imaginer keluar dari mimpi ataupun lamunan namun lebih pada ketidak kuasaan serta ketidak mampuan berpikir atau mungkin menganalisa semua kejadian secara normal dan membuahkan solusi yang nyata dalam hidup sehingga akan terlahir sebuah "kutipan" hidup yang kemudian akan kamu tuliskan di social media yang membuat kamu terasa "bijak" ataupun menyemangati hidup kamu sebagai motivator alami yang memberikan dorongan "untuk hidup lebih baik" menyikapi cinta, karir dan kehidupan.

Silahkan Simpulkan sendiri....................!!!

No comments:

Post a Comment