Sunday, December 15, 2013

Secangkir Kopi dan Sepiring Pisang goreng (1)

Langkah kakiku terhenti ketika kabut mulai menyelimuti pegunungan ini, kulihat jarak pandangku hanya sebatas dua meter dari pandanganku dan tampaknya akan segera turun hujan besar. Aku bersama dua temanku memutuskan untuk berhenti dan mencari tempat untuk berlindung, waktu sudah menunjukan pukul tiga sore dan sudah lebih dari tujuh jam kita berjalan menapaki jalur pendakian Ciremai. Seorang laki-laki muda berbadan tegap berperawan tegap dan selalu ceria yang merupakan pemandu kami sekaligus masyarakat asli penghuni kaki gunung Ciremai ini tentu sangat mengetahui medan jalur pendakian ini dan atas dari instruksi dia pun kemudian kita di haruskan beristirahat dan mencari perlindungan karena hujan deras akan segera turun dan biasanya akan membuat ranting-ranting besar pada jatuh sehingga akan membahayakan kita jika terus melanjutkan perjalanan.

Kita bertiga berlindung di antara akar pohon yang cukup besar tanpa mendirikan tenda, bertiga kita merapatkan badan dan betul saja, hujan beserta angin yang cukup kencang berhembus diantara kami dan dari kejauhan terdengar seperti pohon yang tumbang dan beberapa ranting jatuh ke tanah. Hujan turun begitu derasnya hingga untuk mengobrolpun kita harus agak berteriak untuk bisa terdengar padahal kita sedang berdampingan satu sama lain. Tiga jam tersebut adalah ssuatu keadaan yang sangat mencekam, namun dengan pengalamanku dan kedua temanku ini mendaki gunung kami cukup tenang menunggu hujan reda sampai akhirnya betul reda dan angin kembali berhembus normal. Waktu sudah menunjukan pukul 18.15 saat hujan sudah sepenuhnya reda, kini atmosfir sudah berubah menjadi sangat gelap pekat namun dengan perlengkapan senter head lamp yang kami pakai cukup membantu penerangan kala itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah melakukan sholat maghrib di tempat tersebut, dengan keadaan yang serba gelap dan basah kami mendapatkan aliran air untuk berwudhu dan melakukan sholat berjamaah. Dan setelah semuanya selesai kami melanjutkan pendakian.

Jalur yang licin dan berlumpur kini menjadi kendala kami, berkali-kali kami terpeleset dan jatuh belum lagi semak belukar yang menghambat serta jalur yang cukup terjal menyulitkan kami. Jarak pandang yang terbatas dan kegelapan makin menyulitkan kami untuk berjalan namun dengan tekad yang kuat kami terus melanjutkan pendakian hingga tanpa sadar aku terpeleset dan jatuh berguling-guling ke bawah hingga ke tepian jurang yang aku tidak tahu seberapa dalam karena penerangan yang sangat kurang. Kini tanganku berpegangan pada akar pohon sementara kedua kakiku menggantung ditepian jurang, badanku penuh dengan lumpur dan rasa sakit menyelimuti seluruh badanku, menyisakan energi untuk menggapai akar pohon dan naik dari tepian jurang sambil berteriak minta tolong kepada kedua temanku. Namun usaha untuk menggapai akar pohon yang lebih kuat itu sia-sia, akar yang aku pegang tidak cukup kuat menahan beban tubuhku dan membuat aku makin terpeleset ke jurang dan badanku menggantung sepenuhnya kurang lebih lima meter dari tepian jurang dan masih berpegang pada akar pohon tersebut. Aku lihat kebawah dan dasar jurang masih belum terlihat juga pertanda bahwa jurang ini sangat dalam. Sayup-sayup kudengar kedua temanku menghampiriku dan bisa kulihat dua cahaya head lamp kini menyorotiku dari atas.

Aku lihat dinding jurang hanya batuan licin berlumut yang tak bisa aku buat sebagai pegangan, Temanku yang merupakan pemandu kami menyuruhku agar tetap diam dan dia akan segera turun untuk menolongku. Aku ingat bahwa dalam pembekalan kami mebawa tali yang cukup panjang dan dengan cepat aku lihat temanku sedang menyimpulkan tali tersebut dan kemudian menurunkannya padaku, tanganku sudah hampir keram dan hampir tak kuat lagi menahan pegangan pada akar pohon yang menjuntai itu, aku berteriak supaya temanku agak cepat menjulurkan tali tersebut, teman pemanduku dengan sigap menuruni jurang berbekal tali tersebut dengan maksud membantuku untuk menaiki jurang tersebut dan sudah berada di sampingku bergantung pada tali yang dia ikatkan pada pohon, kemudian dengan sigap menangkap badanku kemudian bergelantungan di tali yang sama namun pada saat yang bersamaan pula bunyi gemeretak terdengar diatasku dan dengan cepat jurang tersebut longsor menimpa kami, aku sempat mengelak dari pohon yang tidak begitu besar yang berada di atasku namun kawanku tidak, dia tertimpa ranting pohon tersebut yang kemudian menghempaskan badannya jatuh kebawah tanpa pegangan, aku berteriak memanggil namany anamun suara gemuruh tanah longsor mengalahkan suaraku, aku sendiri masih bergantung pada tali yang ia ikatkan pada pohon besar yang tidak ikut longsor ke bawah, aku mencoba memanggil temanku yang berada di atas ternyata dia sudah menyelamatkan diri dengan berpegang pada tali yang sama. kami berdua merangkak naik dengan segera karena takut pohon tempat diikatkannya tali ikut longsor hingga sampai pada ujung longsoran itu.

Sesampainya di atas aku mencoba memanggil-manggil nama temanku yang jatuh ke longsoran itu namun tidak ada jawaban juga, kami berdua sangat bingung saat itu dan memutuskan untuk mencarinya di bawah, mataku berkeliling untuk mencari pohon besar untuk menambatkan tali untuk kemudian turun ke bawah mencari temanku. Dengan jarak pandang yang terbatas, kami secara sigap mengikatkan tali dan menuruni jurang yang ternyata cukup tinggi kurang lebih 30 meteran dan dasarnya adalah sungai yang cukup besar dikarenakan membawa aliran hujan sebelumnya. Dengan hati-hati aku mencari pijakan sebuah batu besar di pinggiran sungai dasar dari jurang tersebut dan meneriakan nama temanku, namun tidak juga ada jawaban. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam dan semakin gelap di tambah kabut tipis yang turun disela-sela sungai dan pepohonan.

Kami saling berteriak menyebutkan namanya namun 30 menit berada di sana dan tanpa jawaban membuat kami cukup kecewa dengan pencarian kami, saat itu dalam pikiran kami adalah dia terbawa hanyut sungai atau ikut terkubur longsoran tanah ditepian sungai, kami tidak bisa melihat ke ujung tebing tempat tadi kami berada dan kemungkinan akan terjadinya longsor sangat tinggi, namun karena kami juga tidak mau kehilangan teman kami maka kami berdua putuskan untuk menggali tanah longsoran dengan peralatan yang kami miliki saat itu.

Campuran tanah liat yang basah membuat penggalian tersebut semakin susah namun kami terus melakukan penggalian, sementara debit sungai semakin lambat sepertinya semakin besar. Satu jam sudah kami menggali namun sia-sia bukan saja karena tanahnya yang susah digali juga karena aliran sungai yang sudah mencapai area longsoran dan sepertinya akan semakin besar, karena aku dengar dari hulu suara bergemuruh yang menciutkan nyali kami. Akhirnya kami hentikan penggalian dan mencari tempat aman sampai pasang sungai berhenti dan melanjutkan penggalian.

*****************

No comments:

Post a Comment