Tuesday, April 24, 2012

Parameter Bahagia

"Apa kamu akan menjamin kehidupan mereka ketika mereka mengenal dunia?"

Pertanyaan semacam ini mungkin akan terjawab secara intelektual bila melihat dan memandang bahwa sangat penting sebuah mata dalam memandang, mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi sampai pada berita apa saja yang sedang terjadi. Namun kenyataannya secara budaya dalam konteks yang sangat sempit bahwa kebahagiaan bukan saja mengenai pandangan, pikiran atau ilmu pengetahuan secara luas. Adalah hidup ternyata sangat sederhana hanya dalam beberapa mata.

Saya datang kedaerah yang sangat terpencil di daerah Sulawesi Tengah, berada di jalur barat Pantai Sulawesi, terdapat sebuah kampung yang terpencil, letaknya kurang lebih 3 Kilometer dari jalan trans barat Sulawesi tersebut, sebuah daerah yang awalnya merupakan daerah transmigrasi yang kemudian perlahan-lahan berubah menjadi sebuah kampung hampir mati, tanpa listrik, perekonomian pun bisa dikatakan hampir lumpuh bahkan infrastruktur yang tidak tertata.

Penghidupan mereka dari berkebun, namun itupun hanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja, sedangkan sisanya dijual atau ditukar dengan kebutuhan lainnya.

Siang hari itu, anak-anak sepulang belajar dari Sekolah dasar yang sangat sederhana bermain kejar-kejaran dilapangan ilalang yang membuat saya sebetulnya sangat prihatin mengingat kondisi (saya) yang merasa telah mengenyam pendidikan tinggi dan melihat dunia, secara sombong saya bertanya dalam hati "Apakah mereka nanti di masa depan?".

Kondisi ini terlontar begitu saja pada saat sedang berdiskusi di malam hari bersama ketua kampung tersebut dalam remang cahaya obor yang menerangi malam itu.
"Apa kamu akan menjamin kehidupan mereka ketika mereka mengenal dunia?"
Saya hanya bisaa diam menunggu penjelasan lebih lanjut, menurut ketua kampung tersebut, kebahagiaan bukan hanya terletak pada materi dan cara pandang, kebahagiaan itu terletak pada diri sendiri dan cara dia menemukan hidup, jika seseorang merasa bahagia dengan materi maka dia berbahagia dengan caranya sendiri.

"Kami lebih suka mengartikan hidup adalah ibadah dan makan, mengabdi pada agama sementara dalam kehidupan atau pemenuhan makan kami bisa dapat dengan bercocok tanam, itulah kebahagiaan bagi kami. Jika kami mengenal materi kemungkinan besar kami akan menjadi pencuri menimbang nafsu manusia selalu menjadi parameter untuk hidup. Kami memilih hidup tanpa listrik bukan karena kami miskin, tapi kami menerima kenyataan bahwa kami adalah manusia alam yang dekat dengan alam dan kearifan alam,"

"Apakah akan menjamin kebahagiaan ketika listrik sudah masuk ke daerah kami dan hanya orang-orang tertentu yang bisa membeli televisi kemudian, satu sama lain kemudian akan saling iri dan tentunya kebencian dan bahkan pemenuhan hasrat untuk memiliki televisi akan menjadi acuan hidup yang akan merusak norma-norma kemanusiaan itu sendiri."

"Kami bahagia dalam segala kelebihan kami dalam rasa syukur terhadap Tuhan, kami tidak berkekurangan dalam hal pangan dan tidak merasa diam dalam berusaha, kami punya cukup waktu untuk beribadah pada waktunya dan selalu berdoa dalam kebahagiaan kami, namun kendatipun begitu kami tidak mengekang bagi orang yang ingin menilik dunia melihat secara matanya sendiri melihat dan merasakan atau bahkan berpendidikan."

""Apa kamu akan menjamin kehidupan mereka ketika mereka mengenal dunia?"




No comments:

Post a Comment