Ketika aku kecil aku melihat ayahku memarahi ibuku, bahkan dia menampar ibuku dengan alasan ibuku tidak berada di rumah saat ayahku pulang ke rumah. Ayahku bilang bahwa cinta itu adalah pengabdian bukan hanya mengenai perasaan, sementara ibuku menangis tidak berhenti di dalam kamar. Aku mencoba menenangkan dirinya namun ibuku malah memarahiku karena menurutnya semua ini salahku, karena sebetulnya ibuku tidak pernah mencintai ayahku sedangkan ayahku sendiri menurut ibuku menikahi ibuku karena keterpaksaan saja dikarenakan pada saat itu ibuku sudah hamil sebelum menikah. Menurut ibuku aku adalah betul anak ayahku namun ayahku tak pernah percaya bahwa aku adalah keturunannya dan mungkin bisa saja ibuku berhubungan dengan orang lain sebelum ayahku.
Selama masa dewasaku aku tidak mengenal cinta dalam keluargaku, ayahku tidak pernah pulang ke rumah sementara ibuku pun selalu sibuk dengan urusannya. Secara tidak langsung aku hidup di antara dua dunia keegoisan dan menjadi produk beban yang tidak diharapkan oleh keduanya, Namun karena itu pulalah banyak mengajariku tentang hidup dan pandanganku terhadap cinta itu sendiri.
Aku harus jatuh cinta pada seseorang ketika aku sedang membenci cinta dan menutup mataku terhadap ego-ego yang menyeretku pada satu kondisi terjatuh pada saat cinta baik itu keberadaannya ataupun ketidak adaannya. Seorang pemuda yang membuatku duduk diam terpaku memandang semu dengan penuh harapan, hingga akhirnya yang kutakutkan benar terjadi, aku jatuh cinta. Dan hal tersebut adalah merupakan masa-masa yang menggantikan kehidupan dalam lingkungan keluargaku, aku berubah dari membenci cinta menjadi seseorang pemuja cinta bahkan aku ingin mengerti betul apa itu cinta dari masaku dengan harapan aku ingin menunjukan kepada orang tuaku bahwa cinta itu ada.
Aku menjadi laki-laki sekaligus menjadi perempuan yang harus berusaha mengerti diriku sendiri, keseimbangan yang kulakukan adalah kenyataannya aku adalah seorang perempuan yang mencintai seorang laki-laki dan saat yang bersamaan juga aku akan menjadi laki-laki yang mencintai diriku sendiri untuk memahami apa yang sebenarnya harus ku lakukan dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam keluargaku hari kemarin.
Aku sudah sangat dewasa untuk mengerti kemampuanku sebagai seorang lelaki yang melihat keberadaanku, ternyata hanyalah sebatas iba dan sebuah pencarian akan titik-titik hilang semasa masa kecilku. Aku tidak lagi bertemu dengan kedua orang tuaku setelah mereka berpisah dan aku sendiri sudah tidak berhubungan dengan laki-laki yang awalnya menjadi kekasihku.
Aku sudah sangat sibuk mengerti diriku sediri, berusaha mengenali ujung rambutku hingga ujung kakiku. Sebagai laki-laki aku membenci tubuh perempuanku yang sangat tidak terurus dan berkesan manja akan segala sesuatunya. Semua keluh kesah dan semua cerita yang ada di dalamnya, sepertinya aku membenci diriku dalam sosok perempuanku. Aku lebih egois meminta untuk di mengerti serta memahami perjalananku terutama mengikuti keinginanku serta sisi-sisi sensitive perasaanku yang terkadang membumi hanguskan logikaku hingga berkeping-keping.
Aku seorang perempuanpun ternyata hanya bisa duduk diam menangis saat ibuku pergi meninggalkan aku dan ayahku yang sebetulnya kukagumi harus pergi juga dengan perempuan lain, aku membenci sosok laki-laki ku kemudian, tidak pernah merasa atau punya sedikit hati untuk diam memandangiku sebagai perempuan rapuh duduk diam karena sakit hati dalam kesendirian.
Entah berapa tahun kemudian aku bangun di sebuah ruangan yang menyerupai bangsai dengan selimut berwarna putih dan ranjang besi yang mengikat kedua tanganku. Sayup kudengar diruangan sebelah orang yang berteriak seperti sedang di siksa, apakah aku berada di neraka atau di surga?
Aku berusaha melepaskan diri dari ikatanku, tanganku berdarah saat tali-tali yang mengikatku kencang terlepas dari pergelangan tanganku. Aku terbangun dan mencoba melepaskan ikatan kakiku. Aku masih tidak tahu berada dimana hingga aku menemukan catatan yang terpajang di ranjang tempatku di ikat.
Cecillia, 26 tahun, Trauma psikis, Penyakit belum diketahui, Rumah sakit Jiwa, 2012.
No comments:
Post a Comment