Aku mungkin tidak sempat mengeja namaku sendiri saat berjalan di bawah kolom kolom tua yang menggantung tempat laba laba sudah semakin tua dan cat yang semakin pudar karena usia, sementara di pelatarannya berderet rapi paving block yang menutupi trotoar yang sudah menjasi saksi bisu terhadap hidup berpuluh tahun. Entah saksi terhadap kehidupan yang kelam dengan segala kemegahannya entah segala intrik yang terjadi antara kaya dan miskin serta semangat perjuangan yang semu arti kemerdekaannya.
Di samping kiri dan kanan seorang pelukis yang memajangkan hasil goresan tangan yang berwarna warni sementara di toko toko tua yang menjajakan berbagai panganan serta kerajinan tangan sebagai cindera mata kota Bandung yang semakin sempit dan panas.
Di sisi lain gemerincing dan dentuman suara musik menggema seperti tidak ada suara lain yang terdengar dari dalam sana, anak muda keluar masuk dari tempat tersebut sedangkan di depannya berjajar kendaraan kendaraan yang terparkir mengusik perjalanan kendaraan yang melintas sehingga menimbulkan kemacetan.
Sungguh aku takjub dengan waktu ketika aku bisa berhimpit himpit berlindung dari hujan pada malam beberapa tahun yang lalu kemudian tertidur di depan pelataran bangunan tua yang sudah mati dan tak berpenghuni. Dan aku masih belum bisa mengeja namaku sera membuat bayanganku sadar betul keberadaan ku, siapakah aku yang telah berubah karena renta serta dimanakah waktu saat aku bisa bergelayut dengan mimpi kemudian mati karena bermimpi.
Aku masih berjalan mengamati orang sekitarku, ada yang mengeluh dan menikmati keindahan peninggalan kota yang sudah tidak muda lagi bahkan banyak yang mengabadikan gambarnya pada kamera kamera mereka. Aku dalam kebingunganku berjalan melihat kedepan dengan cara berbeda pada kebutaan mataku, aku tak melihat aku di masa lalu bahkan masa depan sementara saat ku raba diriku aku sudah tidak mempunyai hati dan menjadi seonggok kehidupan tanpa pandangan.
Apakah aku berpikir tentang sebuah tatanan kota yang semakin rumit dengan problematika kehidupannya atau justru aku sedang tenggelam mengenali dimana aku harus berdiri sementara alas kakiku sudah semakin rusak karena kaki kaki yang semakin lebar menuju kedewasaan umur namun tidak dalam berpikir, atau justru karena aku terlalu berjalan jauh menjauh dari kerumunan yang justru membunuhku dan aku sendirilah yang membuang langkahku pada beberapa titik kegelisahanku pada teori teori kemanusiaan dan tentang penciptaan Tuhan yakni alam semesta ini. Siapakah aku?
Di kejauhan seorang pengemis yang meminta pada kendaraan yang sedang melaju dalam kemacetan, pengemudi tampaknya tidak peduli sementara sang pengemis menggerutu karena tidak mendapatkan belas kasihan si pengendara mobil. Di sisi lain pengendara motor yang seolah tak mau dikalahkan oleh waktu terus menggeliat memacu tanpa peduli kemacetan menerobos sela sela mobil bahkan tak jarang merampok hak pejalan kaki menaiki trotoar di samping jalan demi berpacu dengan waktu. Aku nyaris tertabrak olehnya tapi untung saja lamunanku ini adalah sebuah bentuk sadar yang semu antara kenyataan dan pandangan kosong seorang manusia yang menepiskan putus asa.
Aku berjalan terus pada saat rintik hujan sudah semakin lebat, aku tidak ingin peduli dan hanya ingin merasakan damai hujan untuk kesekian kali namun aku harus menangis karena petir yang menyambar terlalu indah untuk kulewatkan didepan kebutaanku. Seorang pedagang kaki lima memenuhi jalan trotoar tempat jalurku melintas, Aku harus kemana dan berpindah pada jalan raya tempat para pengendara memacu kendaraannya. Sang pedagang menggerutu pada hujan dan berharap matahari dapat datang lagi hingga dagangannya laku, anaknya yang kecil kecil berteduh dalam tenda yang robek sementara orang tuanya sibuk membereskan bangku plastik tempat para pelanggannya duduk. Seorang laki laki berbadan besar yang tampak seperti orang kaya tampak menegur si pedagang untuk tidak berjualan di depan toko miliknya, Si pedagang kemudian menambah keluhannya pada dunia bahwa tak ada tempat bagi orang kecil seperti dia diantara lahan rampokan dia terhadap pejalan kaki.
Aku masih berusaha menemukan diriku dalam hujan hingga tengah malam berjalan memutari kota itu dengan segala proses yang aku temui dan kesenjangan sosial maupun keluhan sosial dan kehidupan duniawi terlebih saat adzan berkumandang dan tak ada yang mendengarnya seolah hanya nyanyian kosong ajakan untuk beribadah. Aku semakin perih.
Entah seperti apa dunia nanti?
No comments:
Post a Comment