"Aku benci Ahli gizi!"
"Aku benci Perempuan yang melarang pacarnya merokok!"
Ini hidup dan tentu ini merupakan sebuah pilihan yang harus kutempuh sebagai pedagang rokok eceran di perempatan jalan, apakah aku salah jika ternyata hidupku harus terletak pada menjual kebodohan. Apakah aku tidak sadar? tentunya aku sangat sadar bahwa asap terhisap adalah kematian namun disisi lain ini hidupku juga. Aku tidak mengemis dengan kesempurnaan Tuhan menciptakan kesempurnaan pada tubuhku, Dulu aku menjual jajanan yang digoreng hingga ibu-ibu mereka melarang untuk membelikan anak mereka jajanan gorengan karena takut minyak yang kupakai adalah minyak bekas, padahal tidak. Apakah aku tidak boleh kesal?.
Aku tidak menyalahkan Tuhan justru sangat bersyukur kenapa Tuhan menciptakan tembakau, walaupun rokok itu sendiri diciptakan oleh manusia dengan kepintarannya menciptakan sebuah kebodohan, kenapa mereka kemudian melarangnya? Aku percaya pertentangan bahkan perbedaan diantara manusia entah itu akan menyebabkan kemajuan walau karena semua berkompetisi untuk menang ataupun kemajuan karena menimbulkan perbedaan yang lebih besar yaitu perang.
Apakah aku merokok? dulu tidak! hingga akhirnya aku dengar pepatah bahwa "jika ingin menang dalam perang maka kenalilah medan pertempurannya", pepatah tersebut betul harus diaplikasikan dalam duniaku, aku diharuskan menghisap kebodohan itu untuk menjual kebodohan, lalu apakah aku menjadi bodoh sekarang dengan kondisiku sekarang tetap berputar dalam lingkaran kebodohan atau justru memang ini adalah sebuah realita bahwa siapapun kita jika kita tidak mengenal diri apa jadinya diri kita, maka dengan ini pulalah aku mempertanyakan siapa aku?.
"Tuhan, aku minta ampun karena telah banyak melakukan kesalahan di dunia ini, termasuk menjual kebodohan ini dan tentu aku telah menjadi bodoh karenanya.
Tuhan, Ibuku dahulu selalu bilang untuk aku menggantungkan cita-citaku setinggi langit, tapi Tuhan ampunilah aku karena tidak mendengarkan kata-kata ibuku, aku terlalu takut untuk menempatkan mimpiku setinggi langit karena tubuhku pendek dan tentu tidak bisa mencapai langit. Untuk menaiki tangga saja aku hanya kuat beberapa anak mata tangga saja dengan kondisi fisikku. Temanku bilang bahwa kita bisa naik ke langit tanpa menggunakan tangga, kita bisa dengan mudah naik pesawat namun Tuhan, aku sendiri tak punya uang untuk ongkos naik pesawat, naik bis saja aku mencari tumpangan dengan berjualan jadi hilang harapanku Tuhan untuk menempatkan cita-citaku di atas langit.
Tuhan, jika boleh aku meminta, aku tidak menginginkan banyak sebanyak orang lain Tuhan. Aku tahu aku membenci dokter yang melarang orang-orang untuk merokok, namun Tuhan ini penghidupanku sekarang dan sebetulnya aku pun tidak membenci dokter sebanyak para pedagang grosiran atau pedagang rokok partai besar di pasar-pasar. Aku hanyalah pedagang rokok eceran yang sangat bersyukur jika satu hari ada yang membeli hanya beberapa batang rokokku saja.
Uang seratus rupiah keuntungan dari satu rokokku telah memberi manfaat bagiku walaupun harus datang dari asap yang mengepul dan beberapa penyakit yang harus ditimbulkan oleh kebodohan itu Tuhan. Aku telah menabung selama sebulan, kemarin baru ku hitung dan baru berjumlah Tiga puluh ribu rupiah dan akan kupergunakan untuk membayar sekolahku yang sebulannya aku harus membayar dua ratus ribu rupiah, tapi Tuhan aku sangat bersyukur telah menjadi bodoh yang menjual kebodohan, tepatnya sedikit kebodohan. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa awal dari sesuatu yang besar adalah dari yang terkecil, aku sebenarnya takut Tuhan, aku takut akan menjadi super bodoh dan menjual super kebodohan dimasa nanti.
Dalam hati nurani aku selalu dikurung oleh dilema saat aku sendiri di umurku yang 14 tahun banyak kawan sebayaku yang juga membeli kebodohan dariku, sebetulnya aku tak ingin menjualnya namun itupula lah makanku dari hari ke hari walaupun kerap aku harus berhubungan dengan kepala sekolah karena mendapatiku sedang berjualan rokok di jalan. tapi apakah aku sekarang Tuhan? aku sudah memilih apapun dengan kebodohan hingga sudah mengakar pada nuraniku.
Tuhan, paling tidak biarkan aku menjual beberapa batang saja di taman sekarang tempat aku berjualan, tadi pagi aku menjual sebatang rokok pada seorang laki-laki yang kelihatannya dia sedang menunggu kekasihnya, namun kemudian ketika kekasihnya datang, mereka malah beraadu argumen mengenai sebatang rokok yang dihisap si lelaki itu dan akhirnya mereka putus, kemudian lelaki itu datang dan menyalahkan aku, dia memarahikku dengngan sumpah serapah yang sebetulnya pada umurku aku belum boleh tahu. Maafkan aku Tuhan, aku tahu ini salahku Tuhan, ampuni aku dan persatukan mereka kembali Tuhan.
Dua hari yang lalu aku menjual tiga batang rokok kepada tukang becak, kemudian hari berikutnya dia menyalahkan aku karena istrinya marah karena uang belanjanya telah dibelikan rokok. Akupun kena marah lagi, dan tentu itu memang salahku Tuhan. Ternyata aku telah banyak berdosa, tapi aku telah menjadi bodoh dengan pembenaranku ini Tuhan. Aku mau hidup pintar dengan tidak bodoh."
- Aku 15 tahun lalu -
"Tuhan aku sudah menjadi orang yang sangat ku benci, aku sangat peduli dengan kesehatan di sekitarku dan kemudian berupaya keras melawan kebodohan seperti yang aku telah lakukan, tapi Tuhan kemarin aku main di Taman untuk mendapatkan udara segar aku melihat seorang anak kecil sedang berjualan rokok dan itu mengingatkanku pada beberapa tahun yang lalu Tuhan.
Tuhan aku telah menjadi dokter karena kebodohan yang aku jual dan kini aku harus menentang kebodohan, apakah aku menjadi orang yang munafik atau aku hanya berlaku seperti orang-orang di duniaku yang harus bertahan hidup walaupun aku harus menjadi bodoh atau berpura-pura bodoh untuk mendapatkan kepintaranku.
Tuhan, aku tidaklah mengerti, ketika semua kemudahan yang aku pikir bukanlah sama sekali sulit ternyata semakin sulit untuk dipelajari dari beberapa fase hidup entah itu bodoh ataupun pintar dalam versi manusia, aku mendapatkan bukti kebesaranmu, sebelum aku menjadi dokter aku diputuskan oleh pacarku karena aku merokok hingga akhirnya aku berhenti merokok dan berhenti menemui tukang rokok langggananku. Kemudian aku menikah sebelum menjadi dokter yaitu saat menyelesaikan studiku, istriku mengamuk-ngamuk karena uang belanjanya selalu kurang dan dia menuduhku bahwa uang dihabiskan untuk membeli rokok.
Apakah aku sudah cukup mengenal aku sendiri Tuhan? diantara asap yang terbuang dan apakabarnya si Tukang rokok langgananku yang biasa aku beli sebelum aku putuskan untuk berhenti? apakah dia tidak menjadi dokter kelak atau justru akan menjadi ahli gizi seperti seseorang yang aku benci dulu sebagai tukang rokok dan apakah dia akan mengalami hal yang sama dengan diriku?
Aku bingung Tuhan walaupun aku tidak mau menjadi kebingungan karenannya, aku berpikir walaupun aku tidak mau menjadi kepikiran setiap harinya."
-Aku, Dokter paru-paru - sekarang -
No comments:
Post a Comment