Apakabar Bulan? Sudah tidak kulihat berdiri wajahmu saat kepal tanganmu masih memukul ayahmu merengek manja berharap Ayah berikan cahaya Bulan untuk tidurmu? Bagaimana Jakarta Gadis kecilku?
Dulu kau sangat membanggakan Jakarta mu dan teman-teman sepermainanmu, dimana selalu ada cahaya terang yang cukup untuk mengalahkan kegelapan ruanganmu. Sayur segar yang bisa selalu kau tunjuk untuk makananmu, daging-daging yang rapi tertutup plastik berlabel harga yang mahal dan semua kesenangan pandangan atau hanya secangkir kopi mahal dan tertawa di antara larutnya kesibukan manusia yang membicarakan satu sama lain.
Kau tahu? Ayah sudah menjadi seorang anak kecil yang bisa kau ajak bermain sekarang. Di tempat ayah sekarang terbentang Danau Ranu kumbolo di pertengahan Semeru seperti saat melihat kau sedang berenang di water park yang harganya selangit demi sebuah air hidup. Ayah sedang menyaksikan seekor belibis yang sudah hampir punah di pinggiran danau, mengingat naluri manusia yang selalu kau tanyakan padaku saat sebelum tidur. Kenapa manusia begini dan begitu? Anakku di tempat aku duduk sekarang tidak ada orang yang membuatkanku secangkir kopi atau hanya sekedar berteriak kemudian dunia menjadi milik kalian. Seekor belibis itu hanya temanku memandang masa depan, satu tahun sudah terlewati dengan segala euphoria dan hiruk pikuk Jakarta, suara terompet dan gelegar kembang api sebagai pembatas tahun sangatlah berbeda dengan disini.
Ayah tak pernah tahu ini tanggal berapa sehingga Ayah tak bisa mencerna waktu, hanya matahari saja sebagai pedoman sholatku.
Seperti apakah kau Tahun sekarang pada waktu ayah tak bisa kembali hidup dalam kesadaran orang tua yang menyaksikan betapa material sudah semakin memainkan perannya pada dunia. Disaat perang bersahutan demi kebanggaan dan bukan kedamaian ataupun keyakinan. Saat kata-kata benar menjadi keraguan dan pem-benaran melebihi kebenaran itu sendiri, Ayah harap keadilan juga tetap akan menjadi keadilan ketimbang peradilan di waktu sekarang saat memasuki era baru penanda dunia sudah tua dan kedewasaan sudah menjadi barang langka.
Di tempat ayah berbaring kemarin ayah masih ternaungi sebuah pohon besar yang rindang, di mana sebelah sisi kananku bisa kulihat kemegahan Semeru yang perkasa tapi sekarang sudah hilang karena telah tumbang oleh keselarasan alam dan kembali tumbuh sebagai tunas muda. Apakah kau masih bisa melihat pohon di Jakarta anakku? Pohon tidaklah seperkasa gedung-gedung bertingkat seperti ceritamu dan ketakjubanmu pada tempo hari saat kau sudah mulai berpikir. Keindahan yang menutup matahari saat senja dan menanamkan beribu kecongkakan dan peng kastaan terhadap golongan kaya dan miskin, dimana bukan tanah lagi yang terpijak hingga tak ada lagi bau hujan yang menyejukan saat tanah sudah tidak ada, jalanan dan beton yang menutupi resapan-resapan air menuju kelaut.
Air disini sangat jernih anakku, sehingga aku masih bisa meminumnya dengan sesuka hatiku tanpa harus membayar ataupun menunggu giliran di tangki-tangki penyedia air bersih ataupun menunggu proses filterisasi dan pemurnian kali ciliwung untuk di minum yang tentunya juga harus menggunakan uang.
Udara disinipun sangat jernih sebagai dunia lama yang tertinggalkan, kau tahu berapa banyak uang yang harus ayah keluarkan untuk membeli oksigen tabung untuk ibumu saat beliau terkena asma? sangat mahal anakku dan semoga saja kau pun tidak harus membeli oksigen disana atau harus berebut ruang untuk membeli air conditioner di gedung-gedung pencakar langit.
Halaman belakangku terdapat hutan cemara dan pinus yang selalu memberikan ayah waktu untuk berpikir bagaimana mereka memberikan keseimbangan hidup untuk manusia, apakah kau disana punya halaman belakang juga anakku? tempat bergelantungan dan bercanda dengan kicau burung belibis ataupun suara serangga sebagai pengantar tidurmu?
Apakah waktu masih berharga disana? seperti jarak yang tidak ada batasnya. Mobil bertebaran, kereta api dan pesawat super cepat yang bisa membunuh waktu saat kau harus berada tepat waktu sebelum jamuan makan. O iya... apakah makanan disana juga masih seperti dulu? kau tinggal mengangkat telepon dan orang akan memasaknya untukmu dan mereka memberikan jaminan dalam 30 menit kemudian pesanan akan diantar? Di tempatku sekarang ketika rasa lapar sudah datang aku harus memancing ikan di Ranu kumbolo ini dan itu terkadang menghabiskan 1 jam waktuku kadang lebih untuk mendapatkan ikan.
Apakah adik-adikmu selalu bangun pagi untuk sholat shubuh anakku dan berangkat sholat jumat di mesjid-mesjid samping rumah? tentunya hanya 5 menit saja mungkin kau akan menemukan masjid dan punya waktu untuk melakukan sholat sunat terlebih dulu. Ayah disini harus berjalan 4 jam lebih untuk mencapai masjid di Ranu Pani untuk kewajiban sholat jum'at.
Apakah cermin di tempatmu sekarang masih bisa dengan jernih merefleksikan cantik parasmu saat kembali dari pusat-pusat kecantikan? di tempat ayah sekarang hanya refleksi dari danau yang bisa menggambarkan ayah sekarang sebagai perenungan ayah terhadap ayah sendiri. Ayah bahkan lupa kapan terakhir ayah bercukur dan wajah ayah saat terakhir ayah harus meninggalkan kalian karena ternyata untuk kasta sosial ayah, ayah hanya seorang petani kecil yang sudah tidak bisa bertani di Jakarta.
Apakah perang sudah usai anakku?
Perang dan tuntutan akan perubahan impian dan perang siapa yang berhak dapat lebih banyak serta siapa yang lebih licik? Peperangan yang ayah hadapi disini adalah peperangan hati dimana musuhnya adalah kemalasan ayah saja dan tentu itu adalah hal yang paling berat ayah lakukan. Adzan tidak terdengar dari atas sini hingga ayah harus tahu waktu yang tepat untuk sembahyang bukan seperti disana saat adzan bertautan namun hanya menjadi nyanyian penghormatan saja.
Sudahlah ayah mungkin sedang bermimpi untuk mengirimkan surat ini untuk kemudian terbaca di masa yang akan datang kelak saat teori keseimbangan hanya berlaku saat sisi lainnya adalah uang dan lainnya adalah berapa harga yang harus di bayar.
Maafkan aku anakku.
Yang selalu mencintaimu
Ayah-
No comments:
Post a Comment