Aku tidak bisa bicara dengan hujan, karena setitik saja ia mengenai tubuhku aku akan merasa kesakitan, tubuhku adalah api yang dikobarkan oleh emosi, namun aku bukanlah iblis yang terbuat api. Aku hanya seorang tubuh yang telah terbakar oleh rasa kemanusianku serta pandangan-pandangan yang selalu tampak negatif dan kritis. Aku di tenggelamkan dalam sebuah perapian di bantaran kali Grogol yang bahan bakarnya adalah sampah-sampah kota yang berbau dan tertindas, bukan oleh pengkhianatan namun lebih pada pembunuhan kemanusiaan secara karakter ataupun rasa sosial. Kemanusiaan yang terletak sedekat kloset jongkok dan kloset duduk yang bisa bergerak.
Dari sebagian cerita ketika tubuhku mulai terbakar aku mulai mulai mengendap bersembunyi dalam sungai berharap api yang membakarku akan padam terkena air sungai namun ternyata sungai Grogol ini sudah di penuhi oleh bahan kimia yang mudah terbakar dan terbakarlah aku dari ujung rambutku hingga telapak kakiku.
Satu sisi saja mungkin tak kan nampak saat berada di tengah kota tanpa sungai, namun aku lebih lama hidup di bantaran kali yang sangat nampak dipaksa untuk menjadi marjinal baik secara pandanganku ataupun perasaan yang menimpa pada diriku. Sebetulnya aku pernah bertanya pada diriku tentang siapa aku, namun aku hanya mendapat jawaban ketus tentang kebodohan aku dan ketololan aku mempertanyakan hal-hal yang terlalu pintar untukku.
Dan akupun terbakar ketika keluar dari sungai Grogol yang berbau aroma kerak neraka itu. Aku masih bisa melihat nyala api pada tubuhku dan nyala api pada perapian yang membakarku, aku juga bisa melihat wajah orang-orang yang melemparku dalam perapian itu. Dan salah satu wajah yang aku sangat kenali adalah diriku sendiri di samping wajah hujan yang menatapku sendu namun dengan penuh kebencian dan rasa riang saat aku mulai terbakar. Wajah-wajah itu tertawa seperti mereka tidak pernah mendapatkan beban dari hidup mereka, yang ada hanya kepuasan mereka melihat tertindasnya aku serta menunjukan telunjuk tangannya terhadapku sembari berkata "Dia lucu!, mukanya hitam!!!", dan terpingkal-pingkalah mereka mentertawakan aku.
Aku enggan berkata sial karena sudah urung di marjinalkan dan terpilih menjadi orang yang tampak lain dari biasanya dan menjadi orang yang tidak normal sama sekali. Tapi itupun tak menjadikan ku menjadi seorang pejuang ataupun ksatria berkuda yang tidak mempunyai kuda.
Aku kemudian hidup dengan api yang membakar kulitku namun itupun api tersebut tidak membakar rambutku walau timbul bau hangus yang lebih bias pada bau sampah yang melumuriku seperti dosa yang kerap menempel pada hatiku. Tapi itulah aku dengan beberapa kosakataku yang hanya takjub memandang sementara berujar kata wangi yang meudian teridentifikasi bahwa wangi itu adalah bau.
"Dia seorang perempuan" ujarku histeris pada saat hujan malam hari aku bisa melihat karena kedewasaanku bukan karena hanya mataku tapi ketika nuraniku berbicara ia berbicara bahwa aku jatuh cinta, namun kendatipun begitu aku benci ketika mendengar kata jatuh cinta. Aku kemudian mengelompokan mereka menjadi beberapa tanda cinta yaitu hujan, malam dan perempuan dan tentulah aku cinta perempuan, aku seorang laki-laki dan seorang yang mempunyai masa depan walaupun aku nanti mati saat hujan atau harus sakit ketika tetesan hujan mengenai kulitku, "mungkin itu akan mematikan logikaku".
Satu malam aku tidur diatas tumpukan batu bara yang menghangatkanku dimalam hari, tentunya dengan apiku bara-bara itu menjadi sumber hidupku. Aku tertidur dengan pulas tanpa memandang jelas karena mataku tertutup lagipula apa yang bisa kulihat malam seperti ini, Sang bulan saja enggan bertemu denganku. Entah berapa lama aku tertidur hingga kuterbangun oleh suara petir yang menggelegar, namun karena rasa lelah berjalan mengharuskanku untuk tetap berbaring saja tanpa banyak kalimat atau kata. Satu tetes hujan mengenai pipiku dan sungguh itu sangat menyakitkan dan kemudian dua tetes hingga ratusan bahkan mungkin ribuan mengeroyokku di kondisi aku tertidur sementara rasa kesakitanku tak memungkinkan aku untuk bergerak menghindar dan berteduh dibawah pohon jambu yang juga daunnya sudah hilang terbakar olehku. Aku berteriak dengan sekuat tenaga hingga pagi datang, tubuh terbakarku mati dan menyisakan sebuah kulit manusia bhakan kulitku pun bertambah putih dan berbentuk seorang laki-laki. Tubuhku basah kuyup namun hujan telah berhenti.
Ku cari hujan hingga ke Papua Nugini namun tidak kutemukan, aku berlari ke Negara hujan juga tidak kutemukan hingga lebih dari dua tahun, pada senja aku duduk diam tetap pada tumpukan batubara yang kemarin malam aku tertidur. sayup-sayup mata ini mengantuk memandang senja yang begitu jingga dan membakar kedua mataku. Aku tertidur tanpa tahu apa yang terjadi karena tubuhku merasa hangat yang aku pikir hanya akibat dari senja. Aku terbangun pagi hari dan mendapatkan hangus seluruh tubuhku terbakar dan menyala seperti semula, namun kali ini aku tidak berbau sampah, hanya tubuhku saja yang menyala seperti api.
Aku kembali seperti semula entah saat malam yang kau benci namun tak terkejar ataupun siang disaat kau tak pernah ada namun aku mencari keberadaanmu tanpa mempertanyakan siapa aku ataupun kamu dan siapa dia. Apakah aku harus berteriak "SIAL!" atau inilah cerita yang seharusnya berakhir? namun aku tidak berakhir dengan pijar api ditubuhku. aku masih "DIA".
No comments:
Post a Comment