Di sudut keremangan sebuah malam yang seharusnya terlelap dan lupa telah melangkah kemana hari ini bahkan berucap apa saja kepada dunia yang memperhatikan setiap detik waktu yang kugunakan untuk membuat mimpi di atas kertas yang mulai lusuh karena gambar yang sudah kuhapus untuk beberapa kali, tanpa wajah yang tampak atau bahkan sketsa yang tergambar untuk menentukan kemudian siapa pemilik wajah tersebut.
Aku sudah mengambil puluhan pensil hari ini untuk mencari garis tepi hingga tanganku sendiri punya nyali untuk kemudian menari dan menertawakan aku sebagai seorang empunya mimpi namun tak memiliki definisi atau bahkan seni yang seharus terukir atau setidaknya ada wacana yang akan berkembang kemudian untuk satu langkah lagi melangkah tanpa harus merasakan lelah dan ter-marjinalkan oleh keadaan. Bukan sebuah paksaan terhadap waktu namun ternyata suara hujan yang tidak saja rintik nya saja telah mengalahkan berbagai macam teriakan yang kukeluarkan, sedangkan gitar-gitar yang sumbang saja mampu mengusik sunyi walaupun dengan resah dan benci akan nada-nada yang seharusnya tidak diperdengarkan.
Pikirku jika saja malam ini saja aku bisa menggambar sebuah rona merah pada sebait kata dalam gambarku mungkin aku tak akan menuliskan kalimat ke-sepi-an atau bahkan harapan saja yang paling tidak akan menjadi alur cerita sehingga aku tidak perlu repot lagi menantang muka dan merapalkan tangan pada satu titik sudut bisu yang membuatku terkurung dalam hujan.
Aku kemudian mengikatkan tali sepatu dan mengikatkan sepatuku pada pijakan terakhirku, untuk kemudian aku bisa berbicara dalam kebisuanku semwntara membiarkan tanganku tak pernah berhenti melukis sebuah sketsa masa depan yang kemudian harus aku hapus karena letak presisi antara wajah yang tergambar hanyalah seorang tokoh kartun yang membuat tertawa terpingkal-pingkal mengalahkan suara hujan sekalipun.
Jika hari ini tidak hujan tidak apa, tapi biarkan aku menikmati setiap hembusan hujan dimanapun dia berada atau mungkin saat hujan tidak lagi pernah turun karena sebuah ikatan tidak ada lagi atau bahkan memang tidak pernah ada sementara aku masih mengarang tentang hujan hari kemarin dan kemarinnya serta kemarin-kemarinnya lagi.
Seorang perempuan renta diujung jalan sana saat merasa dia bisa hidup sendiri tanpa memperdulikan sekitarnya itu telah menyatakan diri tidak sanggup dan saat itulah sebenarnya aku mengajak untuk berjalan walau aku sebetulnya tertatih dengan tongkatku dan tersandung sepi kala itu, lembaran yang tak pernah kututup ini adalah lembaran berisi tubuhku yang tak pernah ada disamping, di belakang atau di depan sekalipun.
Aku kemudian mengambil sebilah penggaris kayu yang telah kuraut sejak beberapa tahun lalu berharap kali ini apa yang aku tuliskan dan segaris lurus akan terarah jatuh secara diagonal seperti aku melukiskan hujan tanpa pernah jatuh ke permukaan tapi entahkah kemudian itu menjadi lukisan sebuah penjara untukku sedangkan arahnya tidak lagi secara diagonal dan mengarah kebawah melainkan garis tegak lurus vertikal dan tanganku sedang memegang arah itu. Aku ada dalam penjara, tapi apakah aku harus peduli? sementara aku menunggu hujan berikutnya untuk kemudian menumbuhkan benih yang tak sengaja kutebar ketika berjalan akan kemjdian tumbuh menjadi sebuah rasa atau justru sebuah kebohongan belaka bahwa hari ini dan hari esok akan tetap tidak pernah turun hujan bahkan tanahpun akan retak seperti langit malam yang tidak tersinari bias sang bulan.
Aku bukan pelukis atau seorang juru foto yang melukiskan kenangan pada kanvas putih atau sebuah waktu yang harus tergambar untuk ekspresiku dan keinginanku pada sebuah sketsa wajah yang sekalipun tidak pernah nampak pada hari senin saat deru angin lebih marah dari biasanya dan tanah berdebu lebih dari pada hari jumat saat tidak pernah kunjung hujan.
Aku sekali lagi akan melukis hujan!
No comments:
Post a Comment