kau yakin bahwa kakimu telah lemah berjalan bahkan menapak, satu masa saja tetap kakimu tak beralas menapak bumi dan air hujan yang menerjangmu kau jadikan cambuk bathin seolah dunia ini mengerti akan hidupmu serta kesendirian yang tak pernah menuju tepian bahagia.
mengertilah wahai perempuan, bila hari ini hujan tak datang bukan berarti kau takkan menangis lagi dan menari dengan cerita cintamu yang semakin layu dan busuk karena tangis perihmu. kau tahu perempuan?? dibalik hujan itu aku pernah memegang payung tanpa kau sadari kau sudah berlari ketika kau melihat gelap mukaku. dan setelah itu aku bercinta dengan hujan seperti dirimu dan merangkul mendungku dari batas masa transisi senjaku ketika kau selalu hadir dan hadir membawa jutaan ratusan pasukan air untuk mengingatkanku bahwa hari ini tetap hujan turun.
suatu malam ketika itu dibawah redup cahaya bukan rembulan kau berjalan mengelilingi kota dimana sebuah harapan dan tujuan dari hidupmu pernah terlukiskan, aku mengikutimu berjalan dari belakang saat kau berhenti di tempat dimana transisi terang sebuah lampu jalan yang kemudian menyudutkan mu pada kegelapan, sementara aku hanya memperhatikan saat kau mulai menari seolah penari salsa yang bercerita tentang gairah hidupmu.
kau menari begitu lugas dan tampak dimukamu begitu harunya dirimu tersinari sedikit cahaya hingga samar tangismu mengalir deras dari pipimu.
apa yang harus aku lakukan?
benarkah aku harus diam saat itu, dari bahasamu aku tak berhenti sejenak memandang karena kutahu kau sedang berbahasa tanpa kau tahu. tiap lirik dan bisik hujan yang menggemuruh ditelingaku. dan sialnya aku hanya bisa diam menanti hujan reda saat itu.
lalu, kemudian aku kembali ke peraduan malamku, sejenak merumuskan bahasa yang harus aku mengerti malam itu. apakah itu kau? tangismu atau sejenak hanya fatamorgana hujan yang tak pernah ada.
lalu keesokan harinya aku menanti hujan hingga tahun kedua setelah kau menangis dan tak tampak sampai tahun ketiga.
aku kehilanganmu hujan...
No comments:
Post a Comment