"Sudah hujan Tuan, apakah secangkir lagi akan kau tambahkan untuk membunuh dingin di altar yang semakin terendam?".
"Sudah tinggal diam Tuan, suaranya kini sudah hilang bergaduh dengan tetes hujan dan bergulat dengan air yang jatuh kemudian tenggelam menghilangkan bekas luka yang ada... Apakah Tuan akan berjanji untuk berjanji kemudian membawa aroma tanah itu dalam senandung yang akan kau nyanyikan?"
Kepada malam kini tak bersuara lalu datang angin membawa rupa tak berteman waktu, daripadanya ada bulir-bulir hitam menetes ibarat kopi yang semakin habis karena cangkir yang semakin usang dan membasahi lantainya.
Waktu bukan saja datang pada senja, namun ia datang untuk menceritakan sebuah cerita tentang hati dan cerita tentang betapa waktu menghardiknya hingga kini tak ada lagi diam ataupun gemuruh petir yang mengembara dalam secangkir kopi panas yang terseduh oleh harapan.
"Tuan, siapakah aku dalam Tuan? ataupun sanubari yang berpesan kepada diri laksana cermin yang mengajak berdansa saat hujan dan sepi datang?"
Sore masih hujan ia tak beraga hanya duduk di bantaran kali memandang genangan yang kean mengalir dan tengelam tanpa nafas.
"Apakah saya harus mengiba Tuan? atau berkelahi dengan sajak yang tertoreh dalam perdu yang kau nyanyikan?"
Malam enggan datang dan biarkan pagi sahaja yang melewati dan melompati pagar hati untuk senantiasa berdiri tanpa ketakutan, berharap tiada hujan dan memandang mendung mengiba pada matahari yang enggan nampak.
"Ah, sudahlah..... sudah waktuku Tuan, sudah waktuku....."
No comments:
Post a Comment