Semburat cahaya menelusup jendela pagi mengingatkanku akan rasa syukur pagi ini membuka pandangan bahwa hari ini adalah sebuah semangat yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dan tidak akan berpaling untuk kembali ke hari kemarin. Tampak puncak gunung Ciremai begitu dekat dari jendela yang perlahan kubuka menyiratkan sebuah harapan dan keindahan alam yang harus dijelajah esok hari. Udara menelisik masuk kedalam tubuh yang begitu menyegarkan dan tentu tidak akan kau temui di perkotaan, tampak juga embun yang menggelayut di rerumputan pekarangan rumah seorang kerabat lama yang terbuat dari papan. Sederhana namun penuh makna. Rumah tradisional khas jaman dulu, bentuknya rumah panggung namun tidak begitu tinggi, mungkin kurang lebih berjarak hanya 40 cm dari permukaan tanah dengan batu tapak sebagai pilar yang menghubungkan rumah tersebut ketanah sehingga rumah tersebut seperti mengambang dan tanpa pondasi namun kuat menapak hingga sekarang yang kira-kira sudah berumur lebih dari 20 tahun. Kayu papan sebagai lantainyapun masih kuat terlapisi lapisan lilin yang sering digosokan oleh empunya sebagai perawatan tiap minggu.
Bunyi ayam yang bertautan dan lalu lalang kendaraan di luar sana menandakan hari sudah semakin siang dimana masyarakat mulai melakukan aktifitas paginya, ada yang bertani ada juga yang berdagang sementara rombongan anak-anak pergi ke sekolah pagi itu diselingi dengan senda gurau yang begitu menenangkan. Pagi itu begitu berbeda dari pagi-pagi lainnya yang pernah ku alami, seperti sebuah kerinduan akan sebuah nyanyian pagi yang membuat pikiran menerawang jauh ke puncak gunung sana tanpa ada apa-apa hanya warna hitam gelap gulita yang melambangkan kekosongan serta ketenangan, tidak menyilaukan dan tidak ada warna yang menjadi pusat perhatian, semua sama.
Warna kekuningan dalam kamar sudah semakin jelas dengan biasnya pertanda matahari sudah sempurna menanjak menerangi alam ini, embun sudah semakin hilang dari pandangan dan tampak di jalanan sudah sepi pertanda masyarakat sudah berada di kebunnya atau pasar menyisakan beberapa ibu-ibu yang sedang menjemur gabah padi memanfaatkan sinar matahari yang cukup menyilaukan dengan harapan bahwa hari itu akan cerah dan tak terkendala hujan seperti hari-hari sebelumnya yang terus menerus diguyur hujan yang juga menunda gabah mereka kering yang juga akan menunda mereka untuk menjual gabah mereka karena belum kering benar. Tampak juga di beberapa rumah mulai mengepulkan asap dan tentu itu dari dapur mereka, kehidupan tradisional masih sangat kental terasa, dengan ketersediaan kayu bakar yang melimpah masyarakat masih memilih kayu bakar sebagai bahan bakar untuk dapur mereka. Pemandangan yang sangat berbeda dengan di perkotaan dimana pemenuhan bahan bakar harus bergantung pada gas yang menggantikan minyak tanah sebelumnya, dan tentunya ini menjadi salah satu aspek yang menambah beban ekonomi dalam sebuah keluarga belum lagi biaya bahan-bahan makanan yang melambung tinggi serta susahnya mendapatkan makanan sehat. Hal tersebut tidak terjadi di kampung ini, bahan bakar mereka bisa ambil kapanpun di hutan dan tentunya dengan kearifan bahwa mereka hanya mengambil daha yag sudah kering dan tidak menebang pohon sembarangan, sementara itu kebutuhan pangan mereka dapatkan dari hasil pertanian sendiri mulai dari beras hasil produksi sawah mereka, umbi-umbian juga sayur mayur yang segar mereka dapat petik sendiri di kebun mereka. Untuk pemenuhan kebutuhan dagingpun dengan mudah mereka bisa dapatkan dari peternakan-peternakan yang mereka urus sendiri di pekarangan rumah seperti ayam, kambing dan bahkan ada juga yang beternak sapi ataupu kerbau yang juga membantu mereka dalam membajak sawah mereka.
Hal ini menciutkan pikiranku tentang arti nominal dari uang yang begitu dielu-elukan di perkotaan dimana semuanya hampir terukur oleh uang dan bahkan kebahagianpun sepertinya sudah sangat rancu jika tidak diartikan dengan keberadaan uang, dan sepertinya tawa renyah ataupun senyumpun ada harganya. Kendatipun semua dikembalikan pada perspektifnya mengenai kebahagian itu sendiri namun realitas kehidupan perkotaan menuntut lain, mungkin saja karena terlalu banyak yang di lihat ataupun ada terbesit rasa iri yang menghinggapi ketika melihat hal-hal yang lebih baik daripada kita. Teknologi telah mengubah pikiran kebanyakan orang, di restoran mewah ataupun kafe yang semua orang memegang gadget mereka dengan bangga. komunikasi lisan bergantikan dengan komunikasi antar teks via gadget yang semakin menyempitkan pola pikir dan nilai-nilai kekeluargaan yang semakin tidak tampak bahkan di sela-sela makan malam sebuah keluarga yang terlalu sibuk mengurusi gadgetnya, terkadang tertawa sendiri seolah tak peduli dengan lingkungannya ataupun atmosfir kebersamaan dalam keluarga.
Terbesit dalam pikiranku jika nilai nilai tradisional seperti ini juga suatu saat hilang, entah apa yang akan terjadi. Sebuah gelombang besar kemalasan dan pola pikir instan yang menguasai semua hal. Semua sangat berbeda di sini, nilai uang justru berlaku jika mereka sudah bersentuhan dengan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang mereka. Mahalnya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang menjadi sebuah keluhan yang sepertinya tidak akan berakhir, yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan bersekolah, hidup sederhana asalkan kebutuhan pangan mereka tercukupi karena bagi mereka hal tersebut sudah merupakan "hidup", sementara untuk kebutuhan emosional bathiniahnya mereka sudah dapatkan dari agama yang mereka peluk dan penuh dengan ketaatan.
Sebuah potret pagi yang begitu panjang dan menerawang menelusup dalam pikiranku saat kemudian terhenti oleh ajakan untuk menyantap sarapan pagi di teras rumah itu.
Secangkir kopi yang tersaji dalam cangkir yang terbuat dari bambu serta sepiring pisang goreng yang tersaji dalam piring yang terbuat dari anyaman rotan. Kopi yang dipetik dari kebun sendiri dan di giling sendiri dan juga pisang goreng yang dipetik dari kebun sendiri walaupun tentu untuk tepung dan minyak untuk menggoreng pisang tersebut mereka harus mengeluarkan uang untuk membelinya.
Lima tahun yang lalu menu sarapan tersebut adalah menu sarapan yang sama dengan suasana pagi yang sama dengan tempat yang sama namun yang membedakan adalah seorang teman, saudara, kerabat yang kini telah tiada. Tepatnya lima tahun yang lalu kami berkenalan di rumah ini dan sebagai satu-satunya pemuda yang aku kenal yang kemudian menemaniku menapak puncak Ciremai untuk pertama kalinya, dia dengan sukarela menemani hasratku menaklukan puncak tertinggi di Jawa barat lima tahun yang lalu, walaupun kemudian dia tidak pernah kembali ke rumahnya hingga saat ini dan entahlah sekarang apakah dia masih hidup di atas sana sambil memandang kemegahan Ciremai ataupun sudah menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung tersebut karena kedinginan dan kelaparan. Sejenak ku pejamkan mataku dan kemudian berdo'a untuk dia dan semoga saja harapan bahwa dia masih hidup di atas sana ataupun berada di daerah lain. Anak laki-laki satu-satunya dari keluarga ini, dari seorang ibu tua yang berparas sangat menyejukan hati ketika berbicara dan seorang lelaki tua yang sangat berwibawa. Anak laki-laki yang kemudian harus di relakan kepergiannya oleh keluarga tersebut dan semua karena aku, karena mengantarkanku menaklukan keegoisanku di puncak Gunung Ciremai.
Sebuah keluarga yang kini telah menganggapku seperti anaknya sendiri, padahal mereka tahu bahwa akulah yang menyebabkan hilangnya anak mereka. Sesungguhnya ada sedikit rasa malu dengan kebesaran mereka menerima kenyataan pahit yang harus mereka terima kehilangan anak semata wayangnya saat mendaki puncak Gunung Ciremai bersamaku, rasa bersalah yang terus menghinggapi keseharianku hingga saat ini aku berada di sini di rumah yang sama seperti lima tahun yang lalu saat sebelum memutuskan untuk menaiki puncak tersebut. Sebuah kerinduan dan rasa persaudaraan yang sangat lekat dalam ingatanku selama beberapa bulan belakangan ini setelah beberapa hal yang menurutku cukup menyulitkanku sebagai seseorang yang hidup di Ibukota tanpa ada keluarga ataupun sebuah perhatian yang kadang saja terlintas dalam pikiranku.
Dan kini, aura yang menenangkan serta wajah yang begitu damai duduk di sebelahku sambil memandang gunung yang sama dan bisa terbaca dari raut mukanya sebuah kesedihan yang tak mau ia tampakan padaku mengenang anak laki-lakinya dan kemudian tersenyum padaku dan menyuruhku untuk menghabiskan sarapan dan kemudian beranjak masuk meneruskan aktifitasnya di belakang rumah, yakni memberi makan kambing-kambing peliharaannya. Shubuh pagi setelah menunaikan sholat shubuh tadi ku dengar Lelaki tua yang tak lain adalah suami perempuan tua sudah berpamitan ke sawah dan dia mengatakan pada istrinya untuk tidak membangunkan aku, sementara aku saat itu memang sangat sulit untuk beranjak dari tempat tidur dikarenakan hawa dingin yang menyelimuti juga karena aku baru datang tengah malam menjelang pagi sehingga aku tidak bangun saat itu.
Ku teguk air kopi yang masih mengepulkan asap panas itu, aroma kopi yang khas dan bercampur dengan aroma bambu yang masih melekat membuat aku semakin segar dan mengisi darahku dengan semangat pagi hari. Perlahan ku pandangi air kopi dalam bambu itu, Kopi yang begitu filosofis dalam pandanganku menyiratkan arti hidup yang penuh dengan keseimbangan serta perspektif hidup bahwa hidup tak ayal seperti kopi, bahwa "dalam dosis yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang, kopi bisa menjadi sesuatu yang menyehatkan namun jika ukuran atau dosisnya terlalu berlebih maka akan tidak baik pula untuk kesehatan kita." Sebuah penggambaran sempurna yang membatasi ketamakan manusia dan penggambaran bahwa sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik.
Mengenai rasanya? Aku sendiri tidak percaya bahwa harga menentukan segalanya, pada kenyataannya kopi yang tersuguh ini sangat nikmat dibandingkan kopi yang di bandrol ribuan rupiah di kafe kafe terkenal di kota. Aku belajar mengenai keikhlasan dan orientasi, menurut Sang ibu pemilik rumah ini, "kopi apapun jika disajikan dengan penuh keikhlasan dan penuh cinta serta tanpa orientasi penghargaan ataupun pengharapan maka kopi akan terasa sangat enak". dan bagi beliau kopi ataupun teh dalam sebuah rumah adalah lambang sebuah pengabdian seorang istri terhadap suami. Seorang istri yang secara ikhlas membuatkan kopi untuk suaminya dengan penuh cinta akan membawa aura yang mengekalkan dalam hubungan suami-istri, sebuah kepercayaan mutlak dari suami untuk meminta dibuatkan kopi kepada istrinya yang tentu juga dengan rasa cinta. Mengingat kalimat tersebut lima tahun yang lalu saat keluarga ini masih lengkap dan dengan canda gurau keluarga ini makin membuatku termenung akan arti sebuah "cinta" dan menerawang begitu jauh mengembalikan rasa bersalahku terhadap keluarga ini.
No comments:
Post a Comment