Aku bukannya takut dengan musuhku yang sudah semakin kuat, dan semakin besar. aku hanya seorang ksatria yang tertinggal bahkan mungkin tidak layak menjadi ksatria. Aku bukan tinggal di pedalaman istana sebagai ksatria gagah berani yang mengalahkan musuh sang raja, kenyataannya aku seorang ksatria yang hidup di pinggir kali yang mencoba mengalahkan ego terbesarku dari kekalahan yang pernah kualami beberapa tahun lalu.
Busur yang kudapat dari seseorang resi sewaktu belajar kehidupan dan menjadi hidup dikala waktu berjalan mundur dan terinjak oleh bebatuan yang tidak nampak sebagai musuh bagi hidupku. Kusimpan busur ini untuk bisa kupakai pada waktu ketika akan kutemui cintaku dan egoku untuk mengalahkannya di bukit dekat gunung yang pernah kudaki tempat bertapa.
terlukis sebuah goresan pada batang busurku ketika pencarianku akan makna hidup dan ujian yang kuhadapi sebagai "Siapa aku" sudah kudapatkan sebagai perlambang sudah lulusnya ujianku dan kenaikan tingkatku sebagai aku yang di akui oleh diriku sendiri sedang bersandiwara sebagai aku atas ceritaku sendiri.
Bukan sebuah realitas ataupun mimpi karena dongeng sudah terceritakan sebelum tidur dan cintaku sudah terlelap jauh menuju alam mimpi hingga tak ada lagi pagi yang datang menyinari cahaya2 bathinku, hanya tinggal satu cahaya hidupku yakni keyakinanku serta penantianku untuk tetap bertahan dalam pertempuran yang kuhadapi sekarang.
Pada sang ratu, ibuku aku berpamitan dan pada sang Raja yang entah kemana aku memohon doa lalu saudara2ku yang tak pernah menganggapku saudara. Aku kemudian berperang dilapis kedua barisan tentara untuk membidikan anak panahku melindungi garis depan yang hanya tinggal sedikit saja.
Ku tarik tali busurku hingga mengkerut2 seluruh otot lenganku, dan gigiku meringis seolah tenaga yang akan kukeluarkan adalah seribu tenaga tendangan kuda. ujung busurnya sudah ku olesi minyak dan ku berikan api hingga pikirku jika mengenai musuhku maka tubuhnya akan terbakar dari dalam dan menjalar keluar tubuhnya.
Seribu panah melesat dari barisanku, meesat sejajar berbaris di angkasa namun berbeda dengan panahku, ia melesat jauh bahkan terlalu jauh keangkasa hingga hanya nampak setitik cahaya api saja dari kejauhan, semua tentara memandangku bahkan decak kagum datang dari mereka hingga membuatku merasa sombong.
Semua panah sudah mendarat di barisan musuhku, banyak yang terpental dan mati namun panahku yang melesat tak kunjung turun, bahkan cahayanya sudah tidak nampak lagi, ketika mereka sudah mengambil panah kedua dan ketiga panahku belum turun juga, bahkan sebagian mereka sudah banyak melumpuhkan musuhnya. Decak kagum kini berubah menjadi ejekan bagiku tapi aku tahu dan tetap ku ikuti perintah pemimpin perang ku bahwa jangan mengambil panah sebelum panah pertama turun dan membunuh musuhku, aku diam dan melihat angkasa, aku berdiri saat mereka yang dibelakangku berteriak supaya aku menghindar.
Aku pikir aku menghalangi pandangan mereka namun ternyata sebuah panah melesat dari belakang dengan nyala api yang kemudian kukenal sebagai anak panah yang kulepaskan, dan ketika aku menengok ke belakang tepat di pelipis dahiku panah itu menancap hingga aku mati....
............................................................
No comments:
Post a Comment