Semburat cahaya menelusup jendela pagi mengingatkanku akan rasa syukur pagi ini membuka pandangan bahwa hari ini adalah sebuah semangat yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja dan tidak akan berpaling untuk kembali ke hari kemarin. Tampak puncak gunung Ciremai begitu dekat dari jendela yang perlahan kubuka menyiratkan sebuah harapan dan keindahan alam yang harus dijelajah esok hari. Udara menelisik masuk kedalam tubuh yang begitu menyegarkan dan tentu tidak akan kau temui di perkotaan, tampak juga embun yang menggelayut di rerumputan pekarangan rumah seorang kerabat lama yang terbuat dari papan. Sederhana namun penuh makna. Rumah tradisional khas jaman dulu, bentuknya rumah panggung namun tidak begitu tinggi, mungkin kurang lebih berjarak hanya 40 cm dari permukaan tanah dengan batu tapak sebagai pilar yang menghubungkan rumah tersebut ketanah sehingga rumah tersebut seperti mengambang dan tanpa pondasi namun kuat menapak hingga sekarang yang kira-kira sudah berumur lebih dari 20 tahun. Kayu papan sebagai lantainyapun masih kuat terlapisi lapisan lilin yang sering digosokan oleh empunya sebagai perawatan tiap minggu.
Bunyi ayam yang bertautan dan lalu lalang kendaraan di luar sana menandakan hari sudah semakin siang dimana masyarakat mulai melakukan aktifitas paginya, ada yang bertani ada juga yang berdagang sementara rombongan anak-anak pergi ke sekolah pagi itu diselingi dengan senda gurau yang begitu menenangkan. Pagi itu begitu berbeda dari pagi-pagi lainnya yang pernah ku alami, seperti sebuah kerinduan akan sebuah nyanyian pagi yang membuat pikiran menerawang jauh ke puncak gunung sana tanpa ada apa-apa hanya warna hitam gelap gulita yang melambangkan kekosongan serta ketenangan, tidak menyilaukan dan tidak ada warna yang menjadi pusat perhatian, semua sama.
Warna kekuningan dalam kamar sudah semakin jelas dengan biasnya pertanda matahari sudah sempurna menanjak menerangi alam ini, embun sudah semakin hilang dari pandangan dan tampak di jalanan sudah sepi pertanda masyarakat sudah berada di kebunnya atau pasar menyisakan beberapa ibu-ibu yang sedang menjemur gabah padi memanfaatkan sinar matahari yang cukup menyilaukan dengan harapan bahwa hari itu akan cerah dan tak terkendala hujan seperti hari-hari sebelumnya yang terus menerus diguyur hujan yang juga menunda gabah mereka kering yang juga akan menunda mereka untuk menjual gabah mereka karena belum kering benar. Tampak juga di beberapa rumah mulai mengepulkan asap dan tentu itu dari dapur mereka, kehidupan tradisional masih sangat kental terasa, dengan ketersediaan kayu bakar yang melimpah masyarakat masih memilih kayu bakar sebagai bahan bakar untuk dapur mereka. Pemandangan yang sangat berbeda dengan di perkotaan dimana pemenuhan bahan bakar harus bergantung pada gas yang menggantikan minyak tanah sebelumnya, dan tentunya ini menjadi salah satu aspek yang menambah beban ekonomi dalam sebuah keluarga belum lagi biaya bahan-bahan makanan yang melambung tinggi serta susahnya mendapatkan makanan sehat. Hal tersebut tidak terjadi di kampung ini, bahan bakar mereka bisa ambil kapanpun di hutan dan tentunya dengan kearifan bahwa mereka hanya mengambil daha yag sudah kering dan tidak menebang pohon sembarangan, sementara itu kebutuhan pangan mereka dapatkan dari hasil pertanian sendiri mulai dari beras hasil produksi sawah mereka, umbi-umbian juga sayur mayur yang segar mereka dapat petik sendiri di kebun mereka. Untuk pemenuhan kebutuhan dagingpun dengan mudah mereka bisa dapatkan dari peternakan-peternakan yang mereka urus sendiri di pekarangan rumah seperti ayam, kambing dan bahkan ada juga yang beternak sapi ataupu kerbau yang juga membantu mereka dalam membajak sawah mereka.
Hal ini menciutkan pikiranku tentang arti nominal dari uang yang begitu dielu-elukan di perkotaan dimana semuanya hampir terukur oleh uang dan bahkan kebahagianpun sepertinya sudah sangat rancu jika tidak diartikan dengan keberadaan uang, dan sepertinya tawa renyah ataupun senyumpun ada harganya. Kendatipun semua dikembalikan pada perspektifnya mengenai kebahagian itu sendiri namun realitas kehidupan perkotaan menuntut lain, mungkin saja karena terlalu banyak yang di lihat ataupun ada terbesit rasa iri yang menghinggapi ketika melihat hal-hal yang lebih baik daripada kita. Teknologi telah mengubah pikiran kebanyakan orang, di restoran mewah ataupun kafe yang semua orang memegang gadget mereka dengan bangga. komunikasi lisan bergantikan dengan komunikasi antar teks via gadget yang semakin menyempitkan pola pikir dan nilai-nilai kekeluargaan yang semakin tidak tampak bahkan di sela-sela makan malam sebuah keluarga yang terlalu sibuk mengurusi gadgetnya, terkadang tertawa sendiri seolah tak peduli dengan lingkungannya ataupun atmosfir kebersamaan dalam keluarga.
Terbesit dalam pikiranku jika nilai nilai tradisional seperti ini juga suatu saat hilang, entah apa yang akan terjadi. Sebuah gelombang besar kemalasan dan pola pikir instan yang menguasai semua hal. Semua sangat berbeda di sini, nilai uang justru berlaku jika mereka sudah bersentuhan dengan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang mereka. Mahalnya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang menjadi sebuah keluhan yang sepertinya tidak akan berakhir, yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan bersekolah, hidup sederhana asalkan kebutuhan pangan mereka tercukupi karena bagi mereka hal tersebut sudah merupakan "hidup", sementara untuk kebutuhan emosional bathiniahnya mereka sudah dapatkan dari agama yang mereka peluk dan penuh dengan ketaatan.
Sebuah potret pagi yang begitu panjang dan menerawang menelusup dalam pikiranku saat kemudian terhenti oleh ajakan untuk menyantap sarapan pagi di teras rumah itu.
Secangkir kopi yang tersaji dalam cangkir yang terbuat dari bambu serta sepiring pisang goreng yang tersaji dalam piring yang terbuat dari anyaman rotan. Kopi yang dipetik dari kebun sendiri dan di giling sendiri dan juga pisang goreng yang dipetik dari kebun sendiri walaupun tentu untuk tepung dan minyak untuk menggoreng pisang tersebut mereka harus mengeluarkan uang untuk membelinya.
Lima tahun yang lalu menu sarapan tersebut adalah menu sarapan yang sama dengan suasana pagi yang sama dengan tempat yang sama namun yang membedakan adalah seorang teman, saudara, kerabat yang kini telah tiada. Tepatnya lima tahun yang lalu kami berkenalan di rumah ini dan sebagai satu-satunya pemuda yang aku kenal yang kemudian menemaniku menapak puncak Ciremai untuk pertama kalinya, dia dengan sukarela menemani hasratku menaklukan puncak tertinggi di Jawa barat lima tahun yang lalu, walaupun kemudian dia tidak pernah kembali ke rumahnya hingga saat ini dan entahlah sekarang apakah dia masih hidup di atas sana sambil memandang kemegahan Ciremai ataupun sudah menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung tersebut karena kedinginan dan kelaparan. Sejenak ku pejamkan mataku dan kemudian berdo'a untuk dia dan semoga saja harapan bahwa dia masih hidup di atas sana ataupun berada di daerah lain. Anak laki-laki satu-satunya dari keluarga ini, dari seorang ibu tua yang berparas sangat menyejukan hati ketika berbicara dan seorang lelaki tua yang sangat berwibawa. Anak laki-laki yang kemudian harus di relakan kepergiannya oleh keluarga tersebut dan semua karena aku, karena mengantarkanku menaklukan keegoisanku di puncak Gunung Ciremai.
Sebuah keluarga yang kini telah menganggapku seperti anaknya sendiri, padahal mereka tahu bahwa akulah yang menyebabkan hilangnya anak mereka. Sesungguhnya ada sedikit rasa malu dengan kebesaran mereka menerima kenyataan pahit yang harus mereka terima kehilangan anak semata wayangnya saat mendaki puncak Gunung Ciremai bersamaku, rasa bersalah yang terus menghinggapi keseharianku hingga saat ini aku berada di sini di rumah yang sama seperti lima tahun yang lalu saat sebelum memutuskan untuk menaiki puncak tersebut. Sebuah kerinduan dan rasa persaudaraan yang sangat lekat dalam ingatanku selama beberapa bulan belakangan ini setelah beberapa hal yang menurutku cukup menyulitkanku sebagai seseorang yang hidup di Ibukota tanpa ada keluarga ataupun sebuah perhatian yang kadang saja terlintas dalam pikiranku.
Dan kini, aura yang menenangkan serta wajah yang begitu damai duduk di sebelahku sambil memandang gunung yang sama dan bisa terbaca dari raut mukanya sebuah kesedihan yang tak mau ia tampakan padaku mengenang anak laki-lakinya dan kemudian tersenyum padaku dan menyuruhku untuk menghabiskan sarapan dan kemudian beranjak masuk meneruskan aktifitasnya di belakang rumah, yakni memberi makan kambing-kambing peliharaannya. Shubuh pagi setelah menunaikan sholat shubuh tadi ku dengar Lelaki tua yang tak lain adalah suami perempuan tua sudah berpamitan ke sawah dan dia mengatakan pada istrinya untuk tidak membangunkan aku, sementara aku saat itu memang sangat sulit untuk beranjak dari tempat tidur dikarenakan hawa dingin yang menyelimuti juga karena aku baru datang tengah malam menjelang pagi sehingga aku tidak bangun saat itu.
Ku teguk air kopi yang masih mengepulkan asap panas itu, aroma kopi yang khas dan bercampur dengan aroma bambu yang masih melekat membuat aku semakin segar dan mengisi darahku dengan semangat pagi hari. Perlahan ku pandangi air kopi dalam bambu itu, Kopi yang begitu filosofis dalam pandanganku menyiratkan arti hidup yang penuh dengan keseimbangan serta perspektif hidup bahwa hidup tak ayal seperti kopi, bahwa "dalam dosis yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang, kopi bisa menjadi sesuatu yang menyehatkan namun jika ukuran atau dosisnya terlalu berlebih maka akan tidak baik pula untuk kesehatan kita." Sebuah penggambaran sempurna yang membatasi ketamakan manusia dan penggambaran bahwa sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik.
Mengenai rasanya? Aku sendiri tidak percaya bahwa harga menentukan segalanya, pada kenyataannya kopi yang tersuguh ini sangat nikmat dibandingkan kopi yang di bandrol ribuan rupiah di kafe kafe terkenal di kota. Aku belajar mengenai keikhlasan dan orientasi, menurut Sang ibu pemilik rumah ini, "kopi apapun jika disajikan dengan penuh keikhlasan dan penuh cinta serta tanpa orientasi penghargaan ataupun pengharapan maka kopi akan terasa sangat enak". dan bagi beliau kopi ataupun teh dalam sebuah rumah adalah lambang sebuah pengabdian seorang istri terhadap suami. Seorang istri yang secara ikhlas membuatkan kopi untuk suaminya dengan penuh cinta akan membawa aura yang mengekalkan dalam hubungan suami-istri, sebuah kepercayaan mutlak dari suami untuk meminta dibuatkan kopi kepada istrinya yang tentu juga dengan rasa cinta. Mengingat kalimat tersebut lima tahun yang lalu saat keluarga ini masih lengkap dan dengan canda gurau keluarga ini makin membuatku termenung akan arti sebuah "cinta" dan menerawang begitu jauh mengembalikan rasa bersalahku terhadap keluarga ini.
"kata" ; tergali disebuah kedalaman ; sebuah nurani yang terpendam laksana jiwa ; bukan suara dan bukan nyawa ; hanya kata... ; tergores mesra ataupun membunuh senja ; kata dan kata untuk makna ; puisi kata.
Sunday, December 15, 2013
Secangkir Kopi dan Sepiring Pisang goreng (1)
Langkah kakiku terhenti ketika kabut mulai menyelimuti pegunungan ini, kulihat jarak pandangku hanya sebatas dua meter dari pandanganku dan tampaknya akan segera turun hujan besar. Aku bersama dua temanku memutuskan untuk berhenti dan mencari tempat untuk berlindung, waktu sudah menunjukan pukul tiga sore dan sudah lebih dari tujuh jam kita berjalan menapaki jalur pendakian Ciremai. Seorang laki-laki muda berbadan tegap berperawan tegap dan selalu ceria yang merupakan pemandu kami sekaligus masyarakat asli penghuni kaki gunung Ciremai ini tentu sangat mengetahui medan jalur pendakian ini dan atas dari instruksi dia pun kemudian kita di haruskan beristirahat dan mencari perlindungan karena hujan deras akan segera turun dan biasanya akan membuat ranting-ranting besar pada jatuh sehingga akan membahayakan kita jika terus melanjutkan perjalanan.
Kita bertiga berlindung di antara akar pohon yang cukup besar tanpa mendirikan tenda, bertiga kita merapatkan badan dan betul saja, hujan beserta angin yang cukup kencang berhembus diantara kami dan dari kejauhan terdengar seperti pohon yang tumbang dan beberapa ranting jatuh ke tanah. Hujan turun begitu derasnya hingga untuk mengobrolpun kita harus agak berteriak untuk bisa terdengar padahal kita sedang berdampingan satu sama lain. Tiga jam tersebut adalah ssuatu keadaan yang sangat mencekam, namun dengan pengalamanku dan kedua temanku ini mendaki gunung kami cukup tenang menunggu hujan reda sampai akhirnya betul reda dan angin kembali berhembus normal. Waktu sudah menunjukan pukul 18.15 saat hujan sudah sepenuhnya reda, kini atmosfir sudah berubah menjadi sangat gelap pekat namun dengan perlengkapan senter head lamp yang kami pakai cukup membantu penerangan kala itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah melakukan sholat maghrib di tempat tersebut, dengan keadaan yang serba gelap dan basah kami mendapatkan aliran air untuk berwudhu dan melakukan sholat berjamaah. Dan setelah semuanya selesai kami melanjutkan pendakian.
Jalur yang licin dan berlumpur kini menjadi kendala kami, berkali-kali kami terpeleset dan jatuh belum lagi semak belukar yang menghambat serta jalur yang cukup terjal menyulitkan kami. Jarak pandang yang terbatas dan kegelapan makin menyulitkan kami untuk berjalan namun dengan tekad yang kuat kami terus melanjutkan pendakian hingga tanpa sadar aku terpeleset dan jatuh berguling-guling ke bawah hingga ke tepian jurang yang aku tidak tahu seberapa dalam karena penerangan yang sangat kurang. Kini tanganku berpegangan pada akar pohon sementara kedua kakiku menggantung ditepian jurang, badanku penuh dengan lumpur dan rasa sakit menyelimuti seluruh badanku, menyisakan energi untuk menggapai akar pohon dan naik dari tepian jurang sambil berteriak minta tolong kepada kedua temanku. Namun usaha untuk menggapai akar pohon yang lebih kuat itu sia-sia, akar yang aku pegang tidak cukup kuat menahan beban tubuhku dan membuat aku makin terpeleset ke jurang dan badanku menggantung sepenuhnya kurang lebih lima meter dari tepian jurang dan masih berpegang pada akar pohon tersebut. Aku lihat kebawah dan dasar jurang masih belum terlihat juga pertanda bahwa jurang ini sangat dalam. Sayup-sayup kudengar kedua temanku menghampiriku dan bisa kulihat dua cahaya head lamp kini menyorotiku dari atas.
Aku lihat dinding jurang hanya batuan licin berlumut yang tak bisa aku buat sebagai pegangan, Temanku yang merupakan pemandu kami menyuruhku agar tetap diam dan dia akan segera turun untuk menolongku. Aku ingat bahwa dalam pembekalan kami mebawa tali yang cukup panjang dan dengan cepat aku lihat temanku sedang menyimpulkan tali tersebut dan kemudian menurunkannya padaku, tanganku sudah hampir keram dan hampir tak kuat lagi menahan pegangan pada akar pohon yang menjuntai itu, aku berteriak supaya temanku agak cepat menjulurkan tali tersebut, teman pemanduku dengan sigap menuruni jurang berbekal tali tersebut dengan maksud membantuku untuk menaiki jurang tersebut dan sudah berada di sampingku bergantung pada tali yang dia ikatkan pada pohon, kemudian dengan sigap menangkap badanku kemudian bergelantungan di tali yang sama namun pada saat yang bersamaan pula bunyi gemeretak terdengar diatasku dan dengan cepat jurang tersebut longsor menimpa kami, aku sempat mengelak dari pohon yang tidak begitu besar yang berada di atasku namun kawanku tidak, dia tertimpa ranting pohon tersebut yang kemudian menghempaskan badannya jatuh kebawah tanpa pegangan, aku berteriak memanggil namany anamun suara gemuruh tanah longsor mengalahkan suaraku, aku sendiri masih bergantung pada tali yang ia ikatkan pada pohon besar yang tidak ikut longsor ke bawah, aku mencoba memanggil temanku yang berada di atas ternyata dia sudah menyelamatkan diri dengan berpegang pada tali yang sama. kami berdua merangkak naik dengan segera karena takut pohon tempat diikatkannya tali ikut longsor hingga sampai pada ujung longsoran itu.
Sesampainya di atas aku mencoba memanggil-manggil nama temanku yang jatuh ke longsoran itu namun tidak ada jawaban juga, kami berdua sangat bingung saat itu dan memutuskan untuk mencarinya di bawah, mataku berkeliling untuk mencari pohon besar untuk menambatkan tali untuk kemudian turun ke bawah mencari temanku. Dengan jarak pandang yang terbatas, kami secara sigap mengikatkan tali dan menuruni jurang yang ternyata cukup tinggi kurang lebih 30 meteran dan dasarnya adalah sungai yang cukup besar dikarenakan membawa aliran hujan sebelumnya. Dengan hati-hati aku mencari pijakan sebuah batu besar di pinggiran sungai dasar dari jurang tersebut dan meneriakan nama temanku, namun tidak juga ada jawaban. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam dan semakin gelap di tambah kabut tipis yang turun disela-sela sungai dan pepohonan.
Kami saling berteriak menyebutkan namanya namun 30 menit berada di sana dan tanpa jawaban membuat kami cukup kecewa dengan pencarian kami, saat itu dalam pikiran kami adalah dia terbawa hanyut sungai atau ikut terkubur longsoran tanah ditepian sungai, kami tidak bisa melihat ke ujung tebing tempat tadi kami berada dan kemungkinan akan terjadinya longsor sangat tinggi, namun karena kami juga tidak mau kehilangan teman kami maka kami berdua putuskan untuk menggali tanah longsoran dengan peralatan yang kami miliki saat itu.
Campuran tanah liat yang basah membuat penggalian tersebut semakin susah namun kami terus melakukan penggalian, sementara debit sungai semakin lambat sepertinya semakin besar. Satu jam sudah kami menggali namun sia-sia bukan saja karena tanahnya yang susah digali juga karena aliran sungai yang sudah mencapai area longsoran dan sepertinya akan semakin besar, karena aku dengar dari hulu suara bergemuruh yang menciutkan nyali kami. Akhirnya kami hentikan penggalian dan mencari tempat aman sampai pasang sungai berhenti dan melanjutkan penggalian.
Kita bertiga berlindung di antara akar pohon yang cukup besar tanpa mendirikan tenda, bertiga kita merapatkan badan dan betul saja, hujan beserta angin yang cukup kencang berhembus diantara kami dan dari kejauhan terdengar seperti pohon yang tumbang dan beberapa ranting jatuh ke tanah. Hujan turun begitu derasnya hingga untuk mengobrolpun kita harus agak berteriak untuk bisa terdengar padahal kita sedang berdampingan satu sama lain. Tiga jam tersebut adalah ssuatu keadaan yang sangat mencekam, namun dengan pengalamanku dan kedua temanku ini mendaki gunung kami cukup tenang menunggu hujan reda sampai akhirnya betul reda dan angin kembali berhembus normal. Waktu sudah menunjukan pukul 18.15 saat hujan sudah sepenuhnya reda, kini atmosfir sudah berubah menjadi sangat gelap pekat namun dengan perlengkapan senter head lamp yang kami pakai cukup membantu penerangan kala itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah melakukan sholat maghrib di tempat tersebut, dengan keadaan yang serba gelap dan basah kami mendapatkan aliran air untuk berwudhu dan melakukan sholat berjamaah. Dan setelah semuanya selesai kami melanjutkan pendakian.
Jalur yang licin dan berlumpur kini menjadi kendala kami, berkali-kali kami terpeleset dan jatuh belum lagi semak belukar yang menghambat serta jalur yang cukup terjal menyulitkan kami. Jarak pandang yang terbatas dan kegelapan makin menyulitkan kami untuk berjalan namun dengan tekad yang kuat kami terus melanjutkan pendakian hingga tanpa sadar aku terpeleset dan jatuh berguling-guling ke bawah hingga ke tepian jurang yang aku tidak tahu seberapa dalam karena penerangan yang sangat kurang. Kini tanganku berpegangan pada akar pohon sementara kedua kakiku menggantung ditepian jurang, badanku penuh dengan lumpur dan rasa sakit menyelimuti seluruh badanku, menyisakan energi untuk menggapai akar pohon dan naik dari tepian jurang sambil berteriak minta tolong kepada kedua temanku. Namun usaha untuk menggapai akar pohon yang lebih kuat itu sia-sia, akar yang aku pegang tidak cukup kuat menahan beban tubuhku dan membuat aku makin terpeleset ke jurang dan badanku menggantung sepenuhnya kurang lebih lima meter dari tepian jurang dan masih berpegang pada akar pohon tersebut. Aku lihat kebawah dan dasar jurang masih belum terlihat juga pertanda bahwa jurang ini sangat dalam. Sayup-sayup kudengar kedua temanku menghampiriku dan bisa kulihat dua cahaya head lamp kini menyorotiku dari atas.
Aku lihat dinding jurang hanya batuan licin berlumut yang tak bisa aku buat sebagai pegangan, Temanku yang merupakan pemandu kami menyuruhku agar tetap diam dan dia akan segera turun untuk menolongku. Aku ingat bahwa dalam pembekalan kami mebawa tali yang cukup panjang dan dengan cepat aku lihat temanku sedang menyimpulkan tali tersebut dan kemudian menurunkannya padaku, tanganku sudah hampir keram dan hampir tak kuat lagi menahan pegangan pada akar pohon yang menjuntai itu, aku berteriak supaya temanku agak cepat menjulurkan tali tersebut, teman pemanduku dengan sigap menuruni jurang berbekal tali tersebut dengan maksud membantuku untuk menaiki jurang tersebut dan sudah berada di sampingku bergantung pada tali yang dia ikatkan pada pohon, kemudian dengan sigap menangkap badanku kemudian bergelantungan di tali yang sama namun pada saat yang bersamaan pula bunyi gemeretak terdengar diatasku dan dengan cepat jurang tersebut longsor menimpa kami, aku sempat mengelak dari pohon yang tidak begitu besar yang berada di atasku namun kawanku tidak, dia tertimpa ranting pohon tersebut yang kemudian menghempaskan badannya jatuh kebawah tanpa pegangan, aku berteriak memanggil namany anamun suara gemuruh tanah longsor mengalahkan suaraku, aku sendiri masih bergantung pada tali yang ia ikatkan pada pohon besar yang tidak ikut longsor ke bawah, aku mencoba memanggil temanku yang berada di atas ternyata dia sudah menyelamatkan diri dengan berpegang pada tali yang sama. kami berdua merangkak naik dengan segera karena takut pohon tempat diikatkannya tali ikut longsor hingga sampai pada ujung longsoran itu.
Sesampainya di atas aku mencoba memanggil-manggil nama temanku yang jatuh ke longsoran itu namun tidak ada jawaban juga, kami berdua sangat bingung saat itu dan memutuskan untuk mencarinya di bawah, mataku berkeliling untuk mencari pohon besar untuk menambatkan tali untuk kemudian turun ke bawah mencari temanku. Dengan jarak pandang yang terbatas, kami secara sigap mengikatkan tali dan menuruni jurang yang ternyata cukup tinggi kurang lebih 30 meteran dan dasarnya adalah sungai yang cukup besar dikarenakan membawa aliran hujan sebelumnya. Dengan hati-hati aku mencari pijakan sebuah batu besar di pinggiran sungai dasar dari jurang tersebut dan meneriakan nama temanku, namun tidak juga ada jawaban. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam dan semakin gelap di tambah kabut tipis yang turun disela-sela sungai dan pepohonan.
Kami saling berteriak menyebutkan namanya namun 30 menit berada di sana dan tanpa jawaban membuat kami cukup kecewa dengan pencarian kami, saat itu dalam pikiran kami adalah dia terbawa hanyut sungai atau ikut terkubur longsoran tanah ditepian sungai, kami tidak bisa melihat ke ujung tebing tempat tadi kami berada dan kemungkinan akan terjadinya longsor sangat tinggi, namun karena kami juga tidak mau kehilangan teman kami maka kami berdua putuskan untuk menggali tanah longsoran dengan peralatan yang kami miliki saat itu.
Campuran tanah liat yang basah membuat penggalian tersebut semakin susah namun kami terus melakukan penggalian, sementara debit sungai semakin lambat sepertinya semakin besar. Satu jam sudah kami menggali namun sia-sia bukan saja karena tanahnya yang susah digali juga karena aliran sungai yang sudah mencapai area longsoran dan sepertinya akan semakin besar, karena aku dengar dari hulu suara bergemuruh yang menciutkan nyali kami. Akhirnya kami hentikan penggalian dan mencari tempat aman sampai pasang sungai berhenti dan melanjutkan penggalian.
*****************
Saturday, December 14, 2013
Setoples Selai dan Sesendok Bubuk Kopi (epilog)
Entah berapa lama aku lupa bagaimana melukis dan menulis tapi tentu tetap bahwa "aku" adalah bukan meng-aku-i bahwa sebait puisi dan secarik kertas yang pernah tertulis itu adalah sebuah akrya seni yang yang juga tak pernah butuh untuk di-aku-i baik untuk ku sendiri ataupun untuk semua yang menemukan kepingan kepingan dan tautan yang menjadi penyambung rasa dan inspirasiku selama ini.
Hari sudah selesai hujan dan hujan akan tetap datang sebagai berkah hari dan berkah semua orang, tentu untuk yang memahami bahwa hujan bukan sekedar hujan yang turun namun pemaknaan yang lebih dalam tentang hidup, yang mungkin semua orang mendefinisikan arti hidup mereka dengan caranya sendiri. Seperti kisah cinta yang begitu beragam warna dan alur cerita, entah itu pesakitan sebagai "korban" ataupun sebagai manusia yang mengalami transformasi dari "tidak tahu" menjadi "paham" atau setidakya mengerti alur yang harus di bawa pada setiap detik perjalanan hidup.
Secangkir kopi mungkin akan terasa nikmat bagi penikmatnya dan sepiring sarapan tersaji yakni roti dan selai kesukaan setiap pagi, sebuah energi dan cinta serta berkah Illahi atas karunia pagi mendapatkan dirinya masih tetap tersenyum dan melihat pagi sebagai langkah awal bagi hidupnya. Namun secara objektif tentu bukanlah perkara roti tersaji atau bercangkir-cangkir kopi yang dapat memberikan semangat menyongsong hari, atas dasar persepsi dan perspektif semua orang memiliki cara pandangnya mengenai sajian ini, sarapan yang bertema "energi" dan "semangat" penuh menjalani hari. Tapi pernahkah terbayang jika kemudian ketika kau terbangun pagi hari kemudian yang dapatkan hanya setoples selai dan sesendok bubuk kopi yang ada di hadapanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Sebuah perpspektif panjang memang ataupun sikap dan pikiran kenapa harus bubuk kopi ataupun toples selai yang berkesan "menggantung" tanpa ada eksekusi yang jelas terhadap aplikasi sarapan yang menyiratkan semangat dan energi hidup dalam menjalani hari.
Berangkat dari ketidakpahaman dan mengenai esensi yang ditemukan dari beberapa proses waktu baik itu cinta dan kaidahnya dengan "alam" sebagai media hidup yang kemudian mengalur dalam proses cerita tanpa nama tanpa tokoh ataupun plot kejadian yang meng-ular seperti cerita bersambung dan nikmat dihidangkan layaknya sarapan dengan menu yang lengkap (roti dengan selai dan secangkir kopi).... TIDAK!!! Sarapan kali ini adalah setoples selai yang jika kamu makan hanya selainya saja kau akan merasa mual karena terlalu manis dan menggigil karena merasakan manisnya selai tersebut, juga sesendok bubuk teh yang bila kau cicipi akan terasa pahit dan membekas hitam yang tak larut menempel di gigimu. Sama sekali tidak nikmat dan tak bersemangat untuk sebuah cerita indah saat sarapan pagi dan menjelang siang.
Kenapa harus menu sarapan?
Sarapan jelas tentu mempunyai posisi penting dalam alur hidup, bahkan beberapa ilmuwan atau ahli gizi yakin bahwa pola makan dan kaitannya dengan energi tubuh akan ditentukan oleh "sarapan", setidaknya itu yang terjadi pada diriku....
Sepiring sarapan pagi hari bisa membuatku tahan seharian untuk tidak makan, namun jika tidak menemukan sarapan, apa yang terjadi? laper!!!! maka dari itu mungkin saja kemudian otak ini akan berpikir seberapa penting sarapan bagi hidupku ataupun cerita yang harus kuingat untuk kemudian kutuliskan menjadi sebuah rangkaian yang tidak berangkai dan cerita yang penuh dengan ke"tidak menarikan" dan tak ayal malah menjadi sebuah perspektif waktu dari sang empunya yakni aku yang tidak meng-aku-i, setidaknya kelihatannya seperti itu.
Bukan siapa atau kisah siapa tapi kenyataannya adalah presisi mungkin saja membutuhkan ukuran yang tepat, angka ataupun kuadran tertentu dari garis imaginer, horizontal atau vertikal yang bisa berarti massa, ukuran luas, waktu ataupun penanda lainnya tapi ternyata "presisi" bisa juga sebuah "rasa" yang tak mempunyai digit angka yang berderet untuk diukur ataupun keseimbangan hakiki yang adil, bisa saja condong ke kiri atau ke kanan ataupun mengikuti aturan aturan yang berlaku pada sebuah presisi gambar yang ada hanya perspektif bentuk serta banyangan yang bukan imaginer keluar dari mimpi ataupun lamunan namun lebih pada ketidak kuasaan serta ketidak mampuan berpikir atau mungkin menganalisa semua kejadian secara normal dan membuahkan solusi yang nyata dalam hidup sehingga akan terlahir sebuah "kutipan" hidup yang kemudian akan kamu tuliskan di social media yang membuat kamu terasa "bijak" ataupun menyemangati hidup kamu sebagai motivator alami yang memberikan dorongan "untuk hidup lebih baik" menyikapi cinta, karir dan kehidupan.
Silahkan Simpulkan sendiri....................!!!
Hari sudah selesai hujan dan hujan akan tetap datang sebagai berkah hari dan berkah semua orang, tentu untuk yang memahami bahwa hujan bukan sekedar hujan yang turun namun pemaknaan yang lebih dalam tentang hidup, yang mungkin semua orang mendefinisikan arti hidup mereka dengan caranya sendiri. Seperti kisah cinta yang begitu beragam warna dan alur cerita, entah itu pesakitan sebagai "korban" ataupun sebagai manusia yang mengalami transformasi dari "tidak tahu" menjadi "paham" atau setidakya mengerti alur yang harus di bawa pada setiap detik perjalanan hidup.
Secangkir kopi mungkin akan terasa nikmat bagi penikmatnya dan sepiring sarapan tersaji yakni roti dan selai kesukaan setiap pagi, sebuah energi dan cinta serta berkah Illahi atas karunia pagi mendapatkan dirinya masih tetap tersenyum dan melihat pagi sebagai langkah awal bagi hidupnya. Namun secara objektif tentu bukanlah perkara roti tersaji atau bercangkir-cangkir kopi yang dapat memberikan semangat menyongsong hari, atas dasar persepsi dan perspektif semua orang memiliki cara pandangnya mengenai sajian ini, sarapan yang bertema "energi" dan "semangat" penuh menjalani hari. Tapi pernahkah terbayang jika kemudian ketika kau terbangun pagi hari kemudian yang dapatkan hanya setoples selai dan sesendok bubuk kopi yang ada di hadapanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Sebuah perpspektif panjang memang ataupun sikap dan pikiran kenapa harus bubuk kopi ataupun toples selai yang berkesan "menggantung" tanpa ada eksekusi yang jelas terhadap aplikasi sarapan yang menyiratkan semangat dan energi hidup dalam menjalani hari.
Berangkat dari ketidakpahaman dan mengenai esensi yang ditemukan dari beberapa proses waktu baik itu cinta dan kaidahnya dengan "alam" sebagai media hidup yang kemudian mengalur dalam proses cerita tanpa nama tanpa tokoh ataupun plot kejadian yang meng-ular seperti cerita bersambung dan nikmat dihidangkan layaknya sarapan dengan menu yang lengkap (roti dengan selai dan secangkir kopi).... TIDAK!!! Sarapan kali ini adalah setoples selai yang jika kamu makan hanya selainya saja kau akan merasa mual karena terlalu manis dan menggigil karena merasakan manisnya selai tersebut, juga sesendok bubuk teh yang bila kau cicipi akan terasa pahit dan membekas hitam yang tak larut menempel di gigimu. Sama sekali tidak nikmat dan tak bersemangat untuk sebuah cerita indah saat sarapan pagi dan menjelang siang.
Kenapa harus menu sarapan?
Sarapan jelas tentu mempunyai posisi penting dalam alur hidup, bahkan beberapa ilmuwan atau ahli gizi yakin bahwa pola makan dan kaitannya dengan energi tubuh akan ditentukan oleh "sarapan", setidaknya itu yang terjadi pada diriku....
Sepiring sarapan pagi hari bisa membuatku tahan seharian untuk tidak makan, namun jika tidak menemukan sarapan, apa yang terjadi? laper!!!! maka dari itu mungkin saja kemudian otak ini akan berpikir seberapa penting sarapan bagi hidupku ataupun cerita yang harus kuingat untuk kemudian kutuliskan menjadi sebuah rangkaian yang tidak berangkai dan cerita yang penuh dengan ke"tidak menarikan" dan tak ayal malah menjadi sebuah perspektif waktu dari sang empunya yakni aku yang tidak meng-aku-i, setidaknya kelihatannya seperti itu.
Bukan siapa atau kisah siapa tapi kenyataannya adalah presisi mungkin saja membutuhkan ukuran yang tepat, angka ataupun kuadran tertentu dari garis imaginer, horizontal atau vertikal yang bisa berarti massa, ukuran luas, waktu ataupun penanda lainnya tapi ternyata "presisi" bisa juga sebuah "rasa" yang tak mempunyai digit angka yang berderet untuk diukur ataupun keseimbangan hakiki yang adil, bisa saja condong ke kiri atau ke kanan ataupun mengikuti aturan aturan yang berlaku pada sebuah presisi gambar yang ada hanya perspektif bentuk serta banyangan yang bukan imaginer keluar dari mimpi ataupun lamunan namun lebih pada ketidak kuasaan serta ketidak mampuan berpikir atau mungkin menganalisa semua kejadian secara normal dan membuahkan solusi yang nyata dalam hidup sehingga akan terlahir sebuah "kutipan" hidup yang kemudian akan kamu tuliskan di social media yang membuat kamu terasa "bijak" ataupun menyemangati hidup kamu sebagai motivator alami yang memberikan dorongan "untuk hidup lebih baik" menyikapi cinta, karir dan kehidupan.
Silahkan Simpulkan sendiri....................!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)