Saturday, December 31, 2011

Time

How much time did you spent for breathe?
Are you walked far enough?
It only a marked sign not a maturity
We have grown old

What did you see?
Become dynamicly change
Quote for self revolution
Who are you yesterday?

Daylight never change into night without transition
It is a way
We are seeing ourselves

We were lying due to time
What did you expected?
You're alive

Love, lust or mature
Heart and mind
Numbers and words

and it keep walking on every single click

Never been too fast
Never been too slow
It constantly and consistent

Friday, December 30, 2011

Rumah Kopi Tua

Semenjak jalan dari kemarin  kami tidak ketemu dengan segelas kopipun. Travis, seorang warga Canada yang sangat mencintai Indonesia adalah seorang pecinta kopi yang tidak mau disebut sebagai pecandu kopi. Menurutnya kopi adalah hidup dan Ia temukan saat beberapa kali kunjungannya ke Indonesia. Kopi tubruk adalah denyut nadinya. Ia sudah sering kali berpergian ke seluruh kota di Bumi ini dan merasakan berbagai jenis kopi dari seluruh dunia dan iapun selalu rapi menyusun rasa-rasa kopi tersebut dalam sebuah catatan kecil yang selalu ia bawa  kemanapun ia pergi termasuk kedalam toilet yang ia yakini sebagai tempat ia merencanakan masa depannya.

Travis berada di Indonesia karena alasan yang tidak harus aku ceritakan tapi saat ini tepatnya kami ingin mencari tempat sebagai perenungan kami. Travis sangat mencintai alam, walaupun ia adalah seorang insinyur teknik namun ia sangat tradisional dalam memandang hidup. Menurutnya teknologi di ciptakan hanya untuk membantu manusia dikala manusia sendiri sudah merasa tidak mampu melakukan sesuatu. Dan karena alasan tersebutlah Travis mencintai Indonesia dimana ia sangat mencintai kopi yang di tumbuk secara tradisional dan diseduh secara tradisional pula.

Di daerah tempat ia tinggal sering ia jumpai capucino atau kopi olahan lain tapi pada akhirnya ia putuskan untuk jatuh cinta pada kopi tubruk. Tepatnya tahun lalu aku bawa kesuatu daerah yakni Pangalengan, sebuah tempat yang berada di Selatan kota Bandung. Di sana ia mengenal seorang perempuan di sebuah kedai kopi dan merasa jatuh cinta padanya. Kebetulan ayah dari perempuan ini adalah seorang petani kopi yang selalu membuat kopi dan mengolahnya sendiri untuk di jual di kedai kopi milik keluarganya. 

Satu minggu Travis berada di Pangalengan, kota ini bukan merupakan kota penghasil kopi namun tentunya ada beberapa pohon kopi yang sengaja di tanam sebagai tanaman tumpang sari di kebun-kebun mereka ataupun pekarangannya. Travis mengenal kopi tradisional dan mengenal cinta dari secangkir demi secangkir kopi yang ia minum selama di sana, dan semenjak itu Travis selalu meminum kopi buatan Keluarga Si pembuat kopi bahkan tidak segan ia tiap bulan mengirim uang untuk membeli kopi sebagai persediaan ia minum kopi. 

Menurutku kopinya tidak sama sekali enak jika dibandingkan dengan kopi luwak, kopi toraja atau kopi manapun di Indonesia. Kopi ini hanya mengeluarkan aroma selama beberapa detik saja pada saat penyeduhan namun kemudian hilang aromanya, tapi Menurut Travis kopi tersebut adalah kopi keikhlasan seseorang dan cinta yang tentunya sangat berperan terhadap rasa.

Di kota Malang tempat beristirahat kami semenjak siang Travis sepertinya gelisah karena belum meminum kopi, dia tidak mau masuk ke coffeeshop ataupun membeli kopi instant yang dijual di warung-warung sehingga ia memutuskan untuk mengajakku dan mencari kedai kopi tradisional.

Disudut kota Malang, tepatnya dekat dengan lingkungan kampus dimana terdapat rumah-rumah kost para mahasiswa ia berpikir bisa menemukan kopi tradisional yang ia inginkan sehingga kamipun mulai berjalan kaki menembus gerimis sore itu  demi secangkir kopi cinta. Travis sempat mengamuk di Surabaya tempat kami mendarat saat menuju Malang karena ia kehilangan kopi cinta nya yang ia bungkus rapi di dalam tasnya, namun entah karena ia lupa atau memang hilang akhirnya kami tidak berusaha berdebat dengan petugas bandara kemudian melanjutkan perjalanan.

Di sebuah sudut jalan persis di samping sungai kecil ia melihat sebuah kedai kopi kecil yang sangat kumuh namun bukan masalah kumuhnya atau memang status sosial yang terlihat di lingkungan tersebut akhirnya kami datangi tempat tersebut kemudian memesan kopi yang kami mau. Bahasa Indonesia Travis belum terlalu lancar sehingga aku yang menjadi penterjemahnya dan menyampaikan bahwa kopi yang kami pesan adalah kopi yang di racik sendiri. Ibu tua yang jelas mengerti betul mau kami dia tersenyum dan mempersilahkan kami duduk dan menunggu.

Satu jam sudah sudah kami menunggu dan menyantap pisang goreng yang di sajikan di warung tersebut sambil berbincang-bincang mengenai masa depan kami. Ibu tua yang berparas gemuk itu kemudian datang dan menyuguhkan kopi kepada kami, aku lihat Travis sepertinya menikmati kopi yang disajikan Ibu tua itu dan bertanya kopi apa yang ia sajikan dengan logat Inggris yang jika orang baru mendengarnya tentu akan tertawa terbahak- bahak.

Ibu tua itu tersenyum kemudian menjelaskan bahwa kopi yang ia buat adalah kopi olahannya sendiri, Travispun hanya mengangguk-ngangguk pertanda ia setuju.  Tidak lama kemudian Travis meminta ijin padaku untuk membeli rokok di warung sebelah dan saat Travis pergi itulah aku bertanya pada Ibu tua itu apa benar bahwa kopi yang disajikan itu adalah kopi racikannya karena menurutku rasanya sangat tidak enak sekali dan bahkan aromanya tidak lebih daeipada aroma jagung bakar bukannya aroma kopi. Si ibu tersenyum dan bercerita bahwa memang kopi yang di sajikanya adalah kopi instan yang telah ia campur dengan jagung. Kemudian iapun bercerita kepadaku kenapa ia melakukan hal tersebut.

Tiga tahun yang lalu sang Ibu tua ini menjanda karena suaminya meninggal karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan, Sang suami adalah seorang veteran tentara yang menurutnya telah ikut berjuang semasa jaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan kehidupan mereka memburuk, suami yang hanya berpangku pada tunjangan pensiun itu tidak memberikan kecukupan bagi keluarganya, mereka tidak mempunyai anak namun kesehariannya ia harus menghabiskan uang pensiun itu untuk membayar pungutan-pungutan yang harus ia penuhi karena ia tinggal di tanah milik instansi pemerintah yang setiap bulannya mengwajibkan ia untuk membayar sewa.

Sang suami dari ibu ini adalah seorang pecinta kopi juga sehingga setiap hari harus tersedia kopi saat sang suami masih hidup dan bahkan dalam satu hari ia harus menyedian sampai lima gelas kopi untuk sang suami padahal kondisi ekonomi mereka sangatlah tidak memungkinkan untuk membeli kopi terutama di jaman saat harga bahan pokok naik dan harga-harga melambung tinggi. Namun demi kecintaannya kepada suami itulah si Ibu kemudian mengolah jagung-jagung yang ia peroleh dari pasar menjadi kopi untuk suaminya. Dan nampaknya sang suami tidak pernah mengeluh walaupun ia tahu bahwa yang ia minum adalah jagung walaupun ada sedikit kopi didalamnya, menurut suaminya yang ia butuhkan bukanlah kopi atas rasa atau sebuah eksistensi rasa dari kopi itu sendiri namun semangat dan cinta yang tertuang dalam kopi tersebut.

Aku lihat mata Si Ibu tua ini mulai berkaca-kaca menceritakan tentang suaminya sehingga ia bisa bertahan sendiri dengan membangun kedai kecil dari sisa-sisa pensiunan almarhum suaminya.

Aku diam dan menunduk malu karena tidak bisa merasakan apa yang terkandung dalam kopi itu dan malah menilai bahwa kopi tersebut tidaklah enak sama sekali. Travis sudah kembali dari warung yang letaknya beberapa ratus meter dari kedai kopi tersebut dengan muka yang berbinar-binar sambil berkata padaku untuk memesan kopi sebagai persediaannya selama perjalanannya di Jawa timur dan menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada sang Ibu. Ibu tua itu menangis haru dan menyuruh kami untuk menunggu lagi sementara ia akan membuatkan kopi untuk kami.

Wednesday, December 28, 2011

Kopi dan hujan dalam versi lain

Secangkir kopi yang kau buat itu sudah semakin dingin sementara aku tak bisa meminumnya, aku masih terdampar dalam hujan yang kemudian mengharuskan aku menari sampai jam 3 sore ini. Aku tahu bentuk kopi yang kau sajikan adalah kisah lalu tapi aku senang dengan itu.

Pukul 5 pagi tadi aku masih terlelap  saat panggilan masuk kedalam teleponku tanpa nama dan tanpa suara, entahlah dan aku pikir siapapun itu tentulah ia tidak hanya sekedar memanggilku kemudian diam. 

Semalam tadi aku bermimpi terbang dimana aku bisa mengatur berapa tinggi aku bisa melompat dan melihatmu dari kejauhan tempatku terbang. Tapi tentunya aku tak bisa melihatnya karena kau sendiri tak pernah ada, lalu ku datangi peron tempat kereta api berhenti, aku tanya petugas berseragam biru itu dan katanya satu jam lagi kereta yang ku maksud akan tiba. 

Seperti satu jam lainnya  tetap aku menunggu dan mencoba terbang dengan mengangkat kedua kakiku, namun aku tidak lagi dapag terbang tinggi. Gravitasi menahanku dan mengharuskan aku menunggu pada bangku kosong yang ternyata kereta api yang kutunggu ternyata tidak pernah datang.

Aku mencoba berjalan kaki saat tak sadar aku terjatuh dan turun hujan, jatuh disini tentunya juga bukan jatuh cinta karena cinta sudah menjadi kotoran yang kucerna saat sarapan tadi. Cinta kutemukan didalam lemari es yang seperti sudah ada disana entah berapa lama bahkan saat aku hendak menyantapnya aku perlu beberapa kali proses penggorengan hingga akhrnya permukaan bekunya mencair dan bisa kusantap.

Hujan sudah tapi belum habis, sementara badanku sudah basah kuyup. Aku tidak membawa baju ganti karena waktu yang sejam pikirku hanyalah waktu dan tentunya akan sama saja dengan hari-hari kemarin. 

Lebih dari lima tahun cahaya yang setara dengan 50 menit menurut teori perhitunganku aku berada dalam hujan, padahal aku tak bisa berenang saat dihadapanku yang tidak hujan ada secangkir kopi buatanmu. Katamu tempo hari itu adalah kopi cinta, walau aku tak pernah tahu rasanya karena kulihat kau selalu menggerutu saat kuminta kau membuatkanku kopi pahit seleraku.

Aku tak bisa menggambilnya, padahal dingin sudah menutupi pori-poriku. Sudah satu jam dalam versi yang lain aku tak bergerak memandang kopi itu hingga akhirnya dingin. Aku beku apakah karena sarapan cintaku tadi pagi beberapa jam yang lalu sementara aku harus disini 30 menit lagi sampai jam 3 sore. 

Aku sedang berpikir kalau saja tidak ada hujan, tapi aku sendiri berpikir kenapa ada kopi dan sarapan ku cerna tadi kenapa harus makanan beku.

Tuesday, December 27, 2011

Hujan untukmu

Bila hujan tiba
Biarkah dia bersuara dan mengambil suara
seperti kisah para pecinta

Biar suara alam bersenandung
seperti malam yang berputar dengan diam
Saat kau menari disana
Kau bukan menangis

Biar hujan tanpa kata
karena aku menatapmu menari
Tidak!
Bukan iba seperti mendung
Hujan hari ini untukmu

Saat kau menitik di tanah hujan
Kau bukan saja menjadi air
tapi api yang membakar kehampaan

Biarkan malam ini hujan
Biar terlelap sepasang mata
Seperti rindu yang lama terpendam

Biarkan air yang mengalir
Tanpa kau harus tahu aku disini
Diam bercinta dengan hujan
dan aku  akan berada dalam hening

Biarkan hujan sampai besok
saat kau habis menangis
walau kemudian tanpa gelak tawa
Karena hujan ini adalah tarianmu

Walau tanpa pernah terkata
Diam saja dan menari
Hujan ini untukmu

Dialog dengan Keberadaan

Toge : "Akulah yang mempunyai kandungan vitamin tertinggi!"
Kacang : "Tidak!! aku yang mempunyai kadar protein tinggi"
Toge : " Tapi aku lebih banyak dicari orang!"
Kacang : "Pembual kau! aku lah yang justru mempunyai harga yang lebih tinggi!"
Toge : "Mimpi kau! aku ada karena keberadaanmu diragukan!"
Kacang : "Itu karena aku terlalu berharga untuk di buang!"

Gula merah :"Bodoh kalian! bertengkar pada akhirnya menjadi makanan manusia!"

Toge : "Aku makanan yang enak!"
Kacang : "Kau tahu bahwa bubur kacang itu banyak yang suka!"
Toge : "Aku tetap juara! tukang toge goreng itu membuatku lebih berharga!"
Kacang : "Tanpa tukang atau penjual mungkin kau hanya sampah!"
Toge : "Karena tukang aku ada!"
Kacang : "Sudah jelas kau kalah!"
Toge : "Maksudmu?"
Kacang : "Aku tidak perlu manusia yang menjadikanku kacang ijo!"
Toge : "Bukan tentang toge goreng tapi kau berasal dari aku!"
Kacang : "Apa tidak terbalik?"
Toge : ........... (berpikir) kacang ijo dulu apa toge dulu

Matahari : "Dasar mahluk!! hanya berdebat tanpa pikir!"
Angin : "Toge ada karena aku yang menciptakan kelembaban! dan Matahari sebagai kawanku yang memberikan arah hidup!"
Matahari : " Hai Toge! pernahkah kau melihat kemana arahmu tumbuh?"
Toge : "Tidak Tuan!"
Angin : "Hei kacang ijo! pernahkah kau berpikir bisa hidup tanpa udara!"
Kacang : "Tidak Tuan!"


(diam dan kemudian saling berpikir)

Manusia : "Hei Toge aku akan memakanmu malam ini, dan kacang! tentunya aku akan memakanmu hari esok!"


Kloset : "Dan aku akan menjadi tujuan akhir dalam berpikir!!!!"

When everybody is searching for the joker


What sign that we should stop? are the marking signs on the road would be a definitive shelter to stop and a value to begin all the journey, facing future and leave all the rest of the past. Some are laughing on a way of choosen one which then it determines which jokes we should carry to words. But tyen everybody now is searching for the Joker to penetrate their laughing nerves, are they died because the past which brought sorrow and many blue days?

If it started sweet then it will ended bitter and if start with bitter then tommorow will end sweet, a relativity and reality or it just a harmony? a balance that we should pass? 

At this age where struggle and words become meaning and issues of majority, consumerity what you will find on the next? fight? looser? or it only a temporary die where Joker has own meditation to re built him self to become no more a Joker.

Sad joker, he laugh then cried.

Clown are die in a time, he never able to speak on his ridiculous behavior, fat, smile and colored hair. It isn't funny anymore! People now are searching a Joker character which become a sign where thing can be laugh depend on what we believed or what we seen. He able to speak even it evil he spoken, but nowadays some people believe that being good guys are hurt and being bad are cool. It ain't a justification but it become reality of human lives where a leader no  longer live for their civilization or environment, they just saving their own ass.

If you stood up in the middle of society then you're forgetting who you are because many influences from your standing atmospheres. and that's become fact. Ironic actually!

Coffee and Choices

Love and Questions

Who Am I ?

The Coffee fest.



Monday, December 26, 2011

Forklor

Bukan sebuah bahasan komunikasi atau ajaran menahun tentang bahasa atau ajaran budaya pada suatu tempat yang  menjadikan identitas wilayah ataupun ke-suku an dari manusia yang secara turun menurun dan tertampung dalam budaya atau komunitas-komunitas manusia. Pengelompokan adalah jelas  nama dari sebuah pihak dan bertindak mewakili kumpulan namun bukan korelasi manusia dan dirinya sendiri termasuk cara bahasa antara dia dan kepercayaannya.

Pada suatu waktu adalah tentu masa lalu yang melahirkan awal dari seni, yang juga seharusnya menjadi bagian dari ekspresi atau komunikasi. Lalu bagaimana manusia meng komunikasikan hati? apakah justru seni itulah bahasan yang mereka kemukakan dalam rangka mengungkapkan isi hati? 

Apa yang kemudian yang masuk dalam kategori seniman dan bukan? dan apa yang kemudian seseorang bisa masuk dalam ranah peng-komunikasian antar manusia terlepas itu sebuah kritik ataupun hanya untuk dinikmati oleh publik. Padahal bisa saja dia sedang berbohong sementara orang banyak sudah mengklaim bahwa itu adalah seni dan seni adalah ekspresi hati. Lalu apakah hati sang seniman adalah pembohong? apakah didalamnya ada faktor mata dalam fungsi untuk menilai sesuatu kemudian menancapkan sebuah label bahwa segala sesuatu dari hati adalah seni, entah itu puisi baik bohong atau tidak, entah itu nyanyian terlepas siapa yang menciptakan dan menjiwai, entah itu lukisan abstrak yang padahal sang seniman hanya menggoreskan tanda merah saja pada canvas putih kemudian menjadi seni yang maha dahsyat artinya. 

Mungkin sang nenek moyang masa lalu juga telah menetapkan bahwa sebagai budaya terlepas baik atau buruk maka itulah yang harus menjadi kebiasaan, sebagaimana kita harus percaya bahwa beberapa hal yang tabu kita lakukan adalah sebuah dosa besar yang tidak boleh kita lakukan karena akan berhubungan dengan hal-hal ghaib disekitar kita, klenik? pamali? budaya? adat? atau hanya sebagai bentuk komunikasi saja dari orang-orang terdahulu kepada orang-orang sekarang agar lebih mengingat eksistensi kita terhadap waktu.

Mungkin kita akan lupa ketika kita akan membuka hutan maka dibutuhkan ritual-ritual khusus yang sudah dipersiapkan orang jaman dulu yang kemudian orang sekarang tidak melakukan hal tersebut dan pada akhirnya terjadi bencana alam. Tentunya hal tersebut tidak ada salahnya secara positif bahkan mungkin itu adalah sebuah tanda keselarasan bagian alam yang seharusnya kita patuhi sebagai salah satu mahluk di muka bumi yang hidup berdampingan, bukan sebagai kuasa alam yang bebas melakukan apa saja terhadap alam.

Manusia bermain Tuhan, menilai, memutuskan kemudian bergerak seolah seorang khalifah dimuka bumi yang berkesewenangan untuk menindas sementara dalam tubuh kemanusiaan ini pula belum banyak yang kita ketahui. Secara struktur ataupun status sosial adalah sebagai contoh nyata, siapa yang menentukan tentunya manusia itu sendiri dan kemudian hal-hal lain yang pada akhirnya menjadikan manusia bangga atas naluri dan sifat dasar manusia yakni tidak pernah puas dan tidak akan puas. 

Terlepas dari sebuah seni yang terdefinisi sebagai ekspresi, sebuah cinta saja adalah ekspresi hati.  Lalu dari beberapa pertanyaan-pertanyaan atau kritik kita kepada manusia adakah jawaban yang bisa di terima jika manusia itu sendiri mencari jawaban menurut versinya sendiri sehingga kebutaan-kebutaan akan ketidak tahuan adalah hanya pemahaman wacana saja dan pada akhirnya kita sedikit mengambil inti sarinya dan menyimpulkannya sendiri seperti hakekat pertanyaan analisa yang harus dijawab tidak secara tepat tapi mempunyai tujuan yang sama.

Apakah sudah cukup mengenal diri sendiri terlepas dari siapa yang melahirkan, yang berwacana tentang waktu kemudian forklore itu sendiri dalam komunitas manusia baik bahasa atau secara implisit adalah anda sendiri dalam kotak anda sendiri yang berujung pada teori penciptaan alam semesta raya ini?

Nilai Mata

Nilai sebuah kejujuran yang berbanding lurus dengan mata tidak bisa di bagi lagi dan terbalik pada nilai sebuah mata, itu adalah bukan sebuah teori yang menggambarkan relativitas yang dikemukakan Enstein ataupun wacana realitas yang ada pada diri manusia. Namun sebuah kisah selalu bergambar bahwa nilai kejujuran adalah sebuah kebutaan yang paradoks, tidak terartikan dalam keberpihakan atau subjektivitas mata dan dalam hal ini adalah bagaimana mata melihat.

Bagaimana sebuah lambang keadilan tergambar sebagai seorang perempuan yang ditutupi matanya kemudian memegang neraca yang berimbang, apakah sekaligus menyerukan bahwa jujur adalah bukan keberpihakan entah secara naluri, hati ataupun akal? lalu dari mana perimeter asil dalam skala manusia? Adil dan jujur?

Dalam dongeng dan tokoh superhero banyak yang menjadi adil dalam versinya "seorang pahlawan", yang tidak ada dalam aturan hukum namun mengadili secara realita kebutaan hukum. Ada si buta dari gua hantu yang berjalan dengan tongkat mencari keadilan membela yang lemah kemudian si buta-buta lainnya, lalu bagaimana dengan tokoh pahlawan yang tidak buta yang notabene juga seorang manusia?

Asrul adalah seorang pemuda yang mendebatku tentang kejujuran ada pada mata, di sebuah warung dekat persimpangan di kota Wangon yaitu persimpangan menuju Cilacap dan Purwokerto. Aku memesan sebuah kopi karena rasa kantukku yang sangat luar biasa setelah perjalanan yang cukup panjang dari Jogjakarta. Asrul memesan secangkir kopi tanpa gula seperti yang aku pesan dan kemudian dia berceloteh bahwa yang diminumnya adalah bukan kopi yang sudah sangat jelas nampak oleh mataku itu adalah kopi yang sama disuguhkan oleh penjual warung itu padaku. Asrul naik pitam dan berteriak bahwa dia merasa tertipu oleh penjual warung itu, hingga akupun melerai nya dan ikut menjelaskan bahwa benar yang diminumnya adalah kopi.

Aku bisa tahu bahwa Asrul buta karena kulihat ia memakai tongkat dan matanyapun tak kulihat memperhatikan kearah sekitar, Asrul bercerita bahwa dia tidak suka dengan ketidak jujuran dan tidak suka ditipu terlebih mengenai rasa yang ia tahu yakni kopi yang selamanya ia konsumsi dirumah adalah kopi murni tapi kemudian kini ia tertipu karena kopi yang disajikan adalah kopi yang sudah berjampur dengan jagung. Ia tidak terima hal tersebut.

Asrul bertanya padaku tentang nilai kejujuran, apakah mata yang melihat atau justru tanpa mata ia adalah kejujuran yang tidak tampak? akupun menjawab tergantung darimana persepsi orang menanggapi letak kejujuran seperti apa yang ia tanyakan.

Asrul adalah seorang pemuda yang mungkin berumur 21 tahun dilihat dari usianya, dan dari gaya bicaranya tentulah ia sering mendengarkan berita dan membaca. Itu terlihat dari wataknya dan kepintarannya mengolah kata hingga akupun tentu tak bisa mendebatnya. 

Setelah dia mendapatkan jawabanku dia diam, kemudian dia berkata padaku bahwa kejujuran adalah nilai utama yang datang bukan dari mata, mulut ataupun nurani, kejujuran adalah nilai tertinggi dari kemanusiaan yang manusia sendiri akan susah melakukannya. Kemudian dia bercerita bagaimana ia di ajari semenjak kecil tentang bagaimana membaca dan mengolah lingkungan menggunakan indra lainnya sehingga ia peka dengan sekitarnya.

Saat masih kanak-kanak Asrul bersekolah ditempat orang buta, entah itu huta sejak lahir ataupun buta karena kecelakaan. Disekolahnya sering diadakan kompetisi olahraga dan itu termasuk olahraga sepakbola. Menurut gurunya olahraga sepakbola orang buta ini akan menjadi sangat menarik untuk dipertontonkan karena akan sangat tidak biasa dan tentunya akan banyak penonton yang datang dan menyumbangkan dana untuk yayasan tersebut.

Di hari pertandingan, yang Asrul tahu hanyalah berdiri ditengah lapangan tanpa tahu kemana dia harus bergerak dan bentuk bola saja dia tidak tahu yang kemudian semua peserta pemain bola itu akhirnya harus merangkak mencari bola yang bundar dan ia tidak ketahui bentuknya. Itupun yang ia dengar hanya suara keras dari pemandu atau komentator yang disertai gelak tawa orang- orang yang menontonnya. "Aku jelas tersakiti!", kata Asrul. Ketika semua itu adalah sebuah bahan candaan saja terhadap kejujuran kami yang tidak pernah mengetahui sepakbola dan rupa dari bola yang harus kami tendang, itupun kami tak tahu arah. Kemudian Asrul meraba-raba mencari batu di lapangan itu untuk kemudian dilemparkan kearah suara yang melengking yang ia tahu adalah suara gurunya, dan ia lemparkan batu itu hingga kepala sang guru berdarah dan dilarikan ke Rumah sakit.

Sejak kejadian itu Asrul dikeluarkan dan banyak belajar dirumahnya, yaitu dengan mendengarkan berita di televisi dan radio yang ia dengarkan. Kemudian menyimpulkan bahwa tak ada cara untuk mengetawakan kejujuran jika tidak punya mata yang hanya hisa menilai entah itukebaikan atau kejahatan. Walau itu hanya sebuah simbol bahwa mata tidak pernah bohong dan akan lebih baik lagi jika tak ada mata yang melihat. Tidak pula hati yang juga dipenuhi emosi atau pikiran yang mengacaukan dan terpengaruh satu sama lain.

Bahwa kejujuran adalah kebutaan seorang manusia 

Sunday, December 25, 2011

re-posisi

Zian adalah seorang laki-laki yang memutar langkahnya di atas kursi roda setelah kecelakaan sepeda motor yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Ia adalah seorang pembalap jalanan yang sering kali mempertaruhkan nyawanya demi sebuah nilai atau kehormatan  yang harus ia dapatkan untuk mencapai status sosial di hormati di kalangan remaja seusianya. 

Bagi kalangan Zian mata adalah sesuatu yang berharga sehingga dengan mata ini pula yang menjadikan nilai bagi seseorang termasuk menentukan status sosial antara di hormati atau di hina sebagai seorang yang mempunyai status sosial yang rendah.

Status sosial itu sendiri merupakan sebuah arena penciptaan terhadap golongan yang kemudian menentukan kelasnya. Seorang akan dinilai miskin oleh seorang kaya, entah itu merupakan nilai yang mutlak ataupun abstrak oleh mata yang memandang tapi tidak memahami.

Zian sendiri adalah salah seorang yang selamat dari sekian pembalap jalanan yang kemudian harus berakhir dalam nisan batu yang pada akhirnya tampak sama dan tidak lagi memandang status sosialnya. Sebuah prestise atau gengsi sebagai cakar yang mungkin harus tertancap pada cerita dan kisah satu lajur hidup seorang manusia. Zian adalah orangnya yang telah bertaruh atas nama besarnya demi sebuah nama oleh mata. Memegang kendali sosial dan bertumpu pada apa yang tidak harus dipahami.

Dimana sebenarnya Zian berdiri?

Sekian harga sepeda motornya saja adalah jelas sebuah nilai manusia tapi tidak menentukan ia berdiri dimana, terlebih saat kegagalan itu ada dalam versi sosialita dan realitas sementara nilai realita yang menjadi Tuhan manusia adalah nilai mata.

Jangan tanya nurani manusia? 

Zian adalah seorang pejuang logika dimana kalah adalah mati, tapi kemudian siapa yang menolong saat ia tidak harus mati dan kalah sebagai pecundang diantara manusia? manusia itu sendiri tentunya? tapi akankah Zian menjadi sadar siapa dia diantara manusia? atau lebih jauh memahami bahwa mata adalah hanya gagasan manusia bukan Rencana Tuhan yang tidak mengenal kegagalan.

Dalam satu putaran kursi roda Zian menyebut dirinya melangkah, karena dia tak punya kaki untuk sadar dia tidak berdiri atas keberadaannya dan justru duduk lelah tanpa menapak kemudian menangis untuk sadar bisa berdiri.

Penghargaan yang mana oleh manusia?

Eksistensi adalah presisi dan sebuah posisi menang manusia dan selebihnya adalah sejarah yang harus dimuseum kan bahkan mungkin harus dilelang ataupun masuk kedalam gudang. Apakah itu yang menjadi pencapaian? 

Kesadaran berpikir?


Saturday, December 24, 2011

Senseless coffee

I would rather suffer with coffee than be senseless (Napoleon Bonaparte). Humans are have right to think and made an idea for him selves whether it's good or bad even there's always a limitation for everything. James was the one who always think for his live, he made logic as the priority of his thought. According to him human structure are made by three element which are mind that created logic, heart that created sense and body as an eksoskeleton of human that applied two things mentioned above.

Different with Jane, she was think that heart is number one. Heart of every living creature determine how good and how bad  the humans are. logic is only a thought and an idea while heart is the decission maker, she said. 

there are many theory which strengthen of human pressence within the the horizontal relation. God is The One who created us and it absolute, and that was a final question of all our pressence. 

When James met Jane there are so many difference of thought and often it became a fight between them. Surely James was a cold person, he has heart and also feeling to love Jane but it also by surrendering his logic thought, while Jane surely was falling in love to James by seeing to James thought about reality, relativity and his theory. 

Fight among them are reality, James said because in reality we also believed unperfectness in belong to human being where then we are searching something to fill our lessness. James learned from what he got that everything can be not make any sense on life and it can be caused by love or anything as the society and also human mind it selves. 

One day James is in the coffee shop to learn how the logic things work and how can heart beaten the reality. He ordered a cup of black coffee, a bitter coffee. he asked the waiter to provide a hot water and a coffee powder so he could mixed by himself. 

In a small cup he put 3 spoons of coffee powder then pour it with hot water and mixed it. then James took a gulp of that coffee, it surely a bitter coffee ever that James mixed, but then James slowly understand why everybody loves a coffee. He read many article which mentioned that a coffee is good for health of course in a certain dose, if less then it can be a regular coffee as a normal drink, but if it overdose then it will be bad for his health so it a must on a certain dose. James was thinking that this theory was also happens in his life, his option, his wants and his needed. 

Jane came and sat in front of James while James started to understand that as logicly coffee are bitter, but it is a heart or sense that make a value on his coffee. James smiled to Jane, and offered his coffee to her. Jane took it and drank, but then she spilled those coffee because it was too bitter she said. James was getting confused why a girl with heart couldn't felt a sense of the coffee as his thought, is there any mistakes? so James asked to Jane.

Jane said that everyone has own thought what is live outside the logic but as heart they also define it by their version. so we couldn't made any conclussion what others feeling or other sense. Logic can be learn but sense couldn't learned. 

Jane also said it is not about the connection between logic and heart or even a coffee but it is all about facing a life where we need many options as an idea or principal of life.

Kopi menggugat ; Menggugat kopi

Jika sebutir biji kopi saja bukan berarti apa-apa lalu kenapa ada aku diantara tumpukan-tumpukan itu. Memang semua adalah sebuah kesatuan walaupun bukan kami yang berpikir atau aku yang  berpikir terlepas dari gagasan terhadap kopi itu sendiri. 

Kami dan saya tak pernah berfilosofi dan melahirkan filosofi dari keberadaan dan kehadiran kami dan saya ditengah hiruk pikuk manusia, namun ada beberapa yang yang menunjukan pada kami dan saya bahwa filosofi itu sendiri memang hanya sebuah kajian dimana kita sering melupakan sisi dan banyak sisi dan merangkum kesimpulan yang tentu tidak semua orang setuju.

Jika kopi adalah keberadaan ilmu lalu kenapa ada diskriminasi rasa, sedangkan yang membedakan adalah sisi terdalam kami bahkan rasa pahitnya saja yang sebagian orangpun membencinya. Kopi apakah itu kebersamaan? disaat berbagai wacana terpaparkan sebagai ide dan pikir dari setiap elemen manusia, kenapa kemudian tersegmentasikan oleh golongan yang notabene dinding pemisahnya hanyalah uang yang ada di kantong.

Seburuk rupakah mereka yang menyeduh sendiri kopinya dengan yang menggunakan mesin super canggih kemudian cara menikmatinya pun disajikan dengan etika? Saat beberapa orang mampu menikmati kopi dengan kepulan asap dimulutnya kemudian para pecinta kopi lainnya membantah hal tersebut dapat merusak aroma kopi. Bukankah filosofi manusia bahwa kopi mempunyai aroma kopi yang khas dan dapat menetralisir bebauan?

Jika tersaji sebagai sebuah produk untuk konsumsi dimana kopi di hidangkan sebagai menu utama dan terpampang jelas bahwa kopi adalah pemersatu, dimana di setiap wadung kopi mereka bisa bercanda dan kemudian memberikan nilai filosofis bahwa inilah arti kebersamaan dalam sebuah kopi. Lalu kenapa menjadi masalah jika seorang pecinta kopi hanya bisa menikmati secangkir kopi dalam fase hidupnya? Merasa sepi terwakili oleh rasa pahit itu. 

Jika hitam pekat adalah simbolku kenapa kemudian kopi pun menjadi putih yang bukan pula adalah albino. Sudah jelas secara filosofis aku yang tahu dengan keberadaanku adalah kesendirian ditengah keramaian terlepas dari siapapun yang akan bicara dan apa yang dibicarakan, bukan saja pembicaraan warung kopi samping jalan akan sangat setara dengan intelektualitas pembicaraan di kafe yang menyediakan kopi olahan, walaupun essensinya tetap sama yakni berpikir, entah aku yang berpikir, kamu yang berpikir, kita yang berpikir atau kalian yang berpikir.

Lalu mengapa kalian saling meremehkan, entah apa yang mnjadi sunia kopi hanyalah minuman hitam pahit dengan segala filosofisnya dari manusia, tapi memang sudah sifat manusia bukan? untuk menafsir apa saja dan teori berpikir keberadaan dan penciptaan walaupun tak pernah selesai. Sebuah pisang saja bisa menjadi sebuah teori karena berpikir, jadi aku tidak leboh baik dari sampah yanh juga ada filosofinya. Sama saja bukan!!  

Wednesday, December 21, 2011

Mata

Tidak ada seperkasa mata yang juga bukan berdiri atau harus tertutup karena angin. Aku bicara karena mulut terkatup bukan mata yang menutup lalu berargumen dengan pandangan sehingga timbul sebuah gerak resonansi antara kesepadanan gerak mata, berbicara atau berpikir dari apa yang di pandang kemudian menilai dan memutuskan terlepas sebelah sisi mana mata yang melihat.

Seorang pengayuh sepeda bernama Jill mempunyai mata dan dalam hal ini kepada matalah ia menggantungkan sejauh mana dia bisa bergerak cepat dan sejauh kaki mengayuh pedal. Suatu hari dia bertemu dengan Ken, seorang pemuda yang berasal dari golongan kaya, ia mempunyai mata sipit hingga terkesan saat ia beremosi dia seolah tidak mempunyai mata. Jill setiap hari bertemu Ken disebuah warung kopi ujung jalan setelah beberapa putaran melintasi kota yang dipikirnya sudah tak layak menjadi kota tempat manusia.

Jill bercerita pada Ken bahwa yang dilihatnya hari ini adalah lebih dari cara pandang atau jalan hidup seseorang, ketika menilai ia menggunakan mata, saat marah matanya nampak seperti bola tenis namun ketika ia menangis matanya bisa sayup dan siapapun yang melihatnya akan seolah terjun pada kubangan air matanya. Jelas Ken mencibir Jill tentang peryataan bahwa mata adalah segala pikir tentang memandang. "Aku bisa membuat kebijakan tanpa menggunakan mata!" Kata Ken pada Jill.

Ken mempunyai mata tapi bukan secara harfiah mata karena ia berpikir menggunakan nurani, bahkan ia lebih pilih menangis saat ia marah karena menurutnya manusia tidak berhak marah karena sisi kemanusiaan dan kedamaian adalah subjek utama yang ia terapkan pada sistem mata. Ken adalah seorang laki-laki dan kemudian membuat nilai ia adalah laki-laki cengeng dan emosional, walaupun Ken tidak pernah peduli hal tersebut namun tanpa disadari hal tersebut pulalah yang melahirkan salah satu cara pandang manusia. 

Jill lebih diam, namun karena ia senang dengan sisi kemanusiaan Ken maka ia pilih sebagai penutup kekurangan ia yang bermain dengan cara pandang yang berbanding lurus dengan logika. 

Mata, pandangan, cara pandang atau sekurang-kurangnya tidak lebih hanya menilai, saat Ken menilai Jill sebagai individu yang objektif dan subjektif lalu kemudian berargumen kepada Ken bahwa itulah sebuah gagasan hidup, Ken tertawa dengan mata yang bersembunyi. Dan begitupula Jill saat Menilai Ken dari sisi kemanusiaannya sehingga memuluskan nilai bahwa Ken adalah pribadi yang emosional atau lebih tepatnya sentimentil. 

Nilai, bukan kita yang menentukan dan itu sudah mutlak. Orang memandang dengan mata, padahal ia adalah sebuah bentuk dari kejujuran yang memproyeksikan kenyataan yang sesungguhnya terekam oleh otak, namun tetap saja bisa dimanipulasikan otak untuk menjadi sebuah kebohongan ataupun hanya pengharapan. 

Menurut Jill, representasi mata adalah saat melihat laut, tidak berbatas dalam sebuah ukuran, Mata bukanlah bingkai pandangan seperti kotak televisi dimana terdapat batasan yang membingkai pandangan, sedangkan mata? Ia tidak berbingkai dan mempunyai batasan pandang yang tentunya batasan kekuatan tentulah ada namun bukan batasan dalam artian bingkai kiri, kanan dan atas, bawah. 

Menurut Ken, mata hanya sebuah alat peranti merekam seperti indra lainnya yaitu mengidentifikasi visual dan sangat terlepas dari gagasan atau cara pandang, sedangkan menurutnya cara pandang itu bukan kalimat yang secara harfiah terartikan bagaimana cara melihat tapi memandang-berpikir logika dengan mata atau memandang-berpikir-merasakan lewat mata hati. 

Gagasan, cara pandang atau proses berpikir bahkan sebuah alat saja tidak terdefinisikan oleh bagian memikirkan dan proses pikir untuk berpikir dan membuat sebuah wacana apa itu mata. 

Jill dan logika cara pandang atau ken dengan mata hati atau nurani? Mata!

Monday, December 19, 2011

Tuan Waktu

Dari mana kau menentukan waktu hingga jatuh tepat 24 jam yang kemudian kau sebut hari? dari 24 jam tersebut terdapat 1440 menit dan 86400 detik kau harus memilih, bahkan kemudian jika terpecah lagi menjadi satuan terkecil sepersekian detik. Sebuah keteraturan atau sistem waktu yang merupakan keselarasan.

Bagaimana sakitnya waktu saat sementara dia berjalan konsisten dan kau datang dengan tidak sepersekian waktu dari umur waktu itu sendiri mengeluhkan kenapa waktunya hari kemarin, kenapa waktunya hari ini dan hari esok. Jika aku memasang waktu awalku jam 7 pagi maka akan berakhir hari ini hitungannya pada jam 7 esok, lalu apa yang harus ku lakukan hari ini? Dan waktupun tetap saja tidak berubah.

Seperti konsistensi waktu terhadap alampun sudah jelar itu tergariskan, ketika benih pohon tumbuh menjadi pohon besar, berkembang biak dan kemudian mati. Apa hanya karena waktu? tentu juga tidak karena Waktu sendiri hanya satu kalimat yang mewakili rotasi alam dimana di dalamnya terdapat keselarasan dan yang lebih utama adalah terhadap manusia dan alam yang sudah jelas sebagai mahluk hidup yang di naungi waktu.

Kita akan menggerutu tentunya saat bencana alam dan kemudian berkata bahwa alam tidak bersahabat. Padahal apa yang kurang dari alam ini yang sudah menyokong kehidupan kita lalu siapa yang tidak bersahabat?.  Begitupun hari yang kita kenal sebagai kesatuan waktu dari 24 jam waktu, ada yang mengatakan hari dimulai pada hari senin, kemudian ada jugayang berpendapat dimulai hari minggu, jum'at dan hari-hari lainnya. Siapa yang menentukan? Apakah ilmu manusia akan sampai pada hari pertama dimana Bumi mulai tercipta dan kemudian Tuhan akan berkata Hari ini akan dimulai dengan hari ini?.

Seperti sebuah pertanyaan saja yang kemudian akan timbul dalam benak semua yakni apa saja yang telah Tuhan ajarkan kepada Sang Nabi Adam A.S sebagai manusia pertama yang hidup di Bumi. Waktu adalah waktu! tidak perlu kepikiran juga dari mana pemahaman itu, Akupun terlahir pada sebuah tanggal, hari, bulan dan Tahun saat aku belum mengerti apa-apa. Itu kodrati bukan?.

Kita sendiri akan sadar mungkin setelah mencintai masa lalu, orang-orang sebelum kita dan buku-buku yang kita baca dan kemudian membentuk sebuah intelejensia bertanya dan berpikir. Waktu?

Berkuasa diBumi bukan berarti berkuasa untuk menjadi penguasa dan bergindak semena-mena terhadap alam yang sudah jelas juga sebagai serangkaian waktu yang manusia sendiri hidup di alam tersebut. Lalu untuk siapa keegoisan tersebut jika harus sadar musim hujan sudah menjadi banjir, tanah menjadi longsor dan musim kering lebih lama dari biasanya?.

Kenyataannya bukan alam yang tidak bersahabat, manusialah yang menjadi garang. Waktu juga tidak memperbudak, dia konsisten! tapi keluhan manusia yang menjadikan waktu sebagai bahan candaan dan pembunuhan disiplin bagi dirinya sendiri.

Sifat dasar manusia? Bangga dengan hal tersebut?

Sunday, December 18, 2011

Sebuah Ukuran

Jika membayangkan teori pengetahuan manusia mungkin tidak akan berhenti pada satu titik asal mula atau keberadaan kita, namun lebih secara aplikatif kita bayangkan bahwa kita sedang berada pada sebuah ruangan hampa udara yang berwarna hitam gelap, lalu terlepas dari pandangan seorang manusia lalu abaikan kita dulu dan gambarkan satu noktah debu yang melayang pada ruangan tersebut, mungkin berukuran 0,000,1 milli mikron yang jelas tak terpandang oleh mata manusia, kemudian dari beberapa partikel tersebut ada gas yang memiliki panas yang kita bayangkan adalah matahari di tata surya yang kita wakilkan hanya salah satu dari beberapa partikel yang ada di kamar hitam sebagai perumpaman kita.

Satu titik debu itu melayang dan tidal tergantung pada satu bagian dinding hitam itu. Secara ilmu manusia mungkin hanya akan berbatas pada debu yang melayang statis dimana didalam ruang hitam itu terdapat ribuan atau bahkan jutaan debu yang terklasifikasi sebagai tata surya pada pandangan manusia. Lalu sistem, ternyata debu tersebut berrotasi mengelilingi kumpulan gas yang berpijar dengan hitungan waktu yang presisi dan tepat. 

Bahkan belum berhenti disana saja, disatu titik noktah debu itu didalam nya terhadap kehidupan manusia yakni kita. Melepas pemahaman atau penggambaran deskripsi seperti apa seorang manusia kita lihat dari seberapa perbandingan ukuran-ukuran dari mulai kamar hitam, kemudian debu dan sekarang ditambahkan manusia yang berdiri lebih kecil dari seperseribu debu tersebut. 

Manusia itu kemudian berpikir dan ada tentunya seperti yang Descartes katakan, lalu kita urai lagi pada beberapa ukuran yang kini sudah menjadi mungkin beberapa juta sepersekian milli mikron dari awal yang tertulis. Manusia dengan sistem sendiri yang kita sebut dengan kemanusiaan yang terdiri atas otak hati dan raga. Ada apa di dalam sistem tersebut? Yakni ada berjuta sel darah yang terintegrasi pada sebuah sistem sempurna yang menjalankan detak jantung dan menggerakkan raga, seperti yang kita ketahui dalam anatomi tubuh manusia.

Seberapa kecil kita yang kita ketahui dibalik pengetahuan batasan terhadap alam semesta, mungin saja akan tidak pernah selesai pada satu titik saja secara deskriptif teori satu dan lainnya hingga seharuskan akan mutlak selesai pada teori penciptaan oleh Tuhan. Yakni sebuah alam yang sempurna terbangun atas sistem beserta batasan-batasan dan regulasi yang menjalankan waktu sebagai titian kita berjalan, seperti saat manusia menjadi renta dan kemudian mati.

Masih merasa besar? 

Saturday, December 17, 2011

Di Belakang kewarasan

"Hei orang gila!", teriak beberapa orang disekitarku. Aku sendiri berada pada sebuah persimpangan jalan menuju kepada kebaikan dan kejahatan sehingga cukup aku bingung dengan kedua tawaran ini. Dan tentu sudah jelas aku tentukan kebaikanku sendiri tapi dalam proses bingung itu aku dihadapkan pada orang gila dengan pemahamannya.

Orang yang menyebutku gila adalah Tun yang memproklamirkan kepada khayalak sebagai orang waras. Dia melemparkanku uang seribuan dan menyusuhku mengejar hidup, sementara aku tertegun pada norma waras dan kegilaan yang terlontar dari kata-kata mantan sahabatku ini. Putusnya sahabat ini hanya karena kata 'gila'! 

Wacana antara gila dan persimpangan ini sudah menambah bingungku sebagai manusia yang memilih sementara pakaianku sudah cukup lusuh untuk status sosialku, lalu apakah karena status sosial dari penampilanku atau dari cara berpikirku yang kemudian merealisasikan kata 'gila' seolah menjadi terpencil dari kewarasan manusia. 

"pembeda adalah pikiran yang menumbuhkan titik kembang pada kemampuan seseorang menjadi lebih baik, terlepas dari cara berpikir sehat ataupun tidak sehat yang terpenting adalah hidup", kata Tun suatu hari sebelum dia menghujat.  Selepas itu kemudian aku menuju kotak putih tempat merenungku di baris kedua kata-kata puisi yang kuciptakan dam otakku, kulihat wajahku telah lusuh sehingga kata miskin tidak lagi tepat sebetulnya karena aku sudah merasa cukup kaya dengan karunia dan kesehatan tubuhku. Tapi tidak! struktur sosial menggeserku pada sebuah titik miskin dan lusuh hingga aku 'miskin' kata mereka.

Disekelilingku sudah tak ada lagi peralatan menulisku setelah menjual beratus lembar tulisanku seharga biaya sekolahku yang harus kubebani pada kegilaanku. Aku kemudian menjadi manusia di kala terbelit kebutuhan dan harus menentukan status sosialku tapi tidak kubeli kepercayaanku pada diriku, aku menjadi bingung dan kala itulan Tun menghujatku 'gila'.

Uang seribu yang dilemparkan Tun untukku aku perhatikan hanya secarik kertas yang juga lusuh dan berbau, Otakku melayang secara waras pada tempo hari dimana baris kedua kotakku aku tinggalkan identitasku sebagai aku, lalu sejenak kupejamkan mataku dan memasuki titik kewarasanku. Aku gila tidak? dan sedemikian gilakah aku? apakah aku juga harus mengerti apa itu kegilaan yang terpisah dari naluri manusia atau justru kegilaan dan arti gila itu sendiri kemudian menjadi baur secara medis dan kondisi psikologi terhadap struktur pemikiran antara sehat dan tidak. Apakah itu kemudian hal itu juga yang menentukan kebaikan ataupun kejahatan? atau justru itulah pemikiran alam bawah sadar kita terlepas waras atau tidaknya.

Didepanku berderet orang-orang menentukan jalan sebelah kiri dan kanan sedangkan aku masih memegang uang seribu untuk membayar toilet yang notabene kini bahkan bertarif dua ribu rupiah. Aku tidak kebingungan lalu kenapa aku harus menjadi gila!. Itulah pilihan secara sosial terlepas berapa uang yang aku pegang sekarang dan apakah aku memakai alas kaki atau tidak! 

Masih terngiang pada masa kecilku saat aku menciptakan baris kedua pada otakku yaitu kotak yang bernama kenyamanan saat itu adalah kata-kata "Makanya berpikir!". Kata-kata itu sering terlontar oleh orang disekelilingku sebagai orang yang pintar sementara aku dengan kebodohanku dan menyudutkan aku pada posisi 'gila'. Tun adalah salah satunya.

Aku dan kamarku adalah penjara berpikir pada proses ruang kenyamanan yang kemudian berubah menjadi ruang renungan. Berpikir untuk meloncati fase tapi aku tidak bisa menyuap waktu atau bahkan berpura-pura sakit gigi dan menyatakan diri untuk menunda waktu. Hasilnya aku berpikir pada kenyamananku, sedangkan itu juga tidak pernah juga menjadi terpikir atau kepikiran, aku hanya berpikir dalam menentukan dan bingung saat memutuskan tanpa bingung saat akan melangkah. 

Namun tetap aku dianggap gila! dibalik kewarasan yang tidak bernama normal ataupun akal sehat. 

Harga Sang Sepatu

Prajurit itu tidak membeliku, mereka hanya menerima apa yang seharusnya menjadi penyelamatnya. Aku adalah pensiunan sepatu boot sang prajurit yang telah mati terkena penyakit hati.

Saat peperangan manusia belum lagi dimulai akupun hanyalah selembar kulit kering yang mencari titik nadirku dalam sebuah kehadiran hidup hingga sepersekian waktu aku berpasangan untuk tuanku. Aku tidak mengeluhkan keberadaanku karena aku bukan prajurit yang berperang terlepas dari masalah harga diri ataupun hanya karena perbedaan.

Aku menjadi sangat bangga karena melayani tuanku di masa peperangan yang sering menjerumuskan aku pada suatu keadaan anomali yang seharusnya aku bisa mengahardiknya sebagai seorang setia  yang hanya bisa diam. Saat perang sedang berhenti tak jarang tuanku menyemir aku hingga menjadi sosok seorang laki-laki dengan kebanggaannya, terlebih ketika uang 10 ribu yang diberikan tuanku di terminal itu kepada seorang anak kecil yang tidak beralas kaki menjadi manfaat besar bagi dia. Aku bangga bisa menjadi mata pencaharian orang di sekelilingku.

Ketika berperang, aku bukanlah hawa nafsu atau harus takut untuk mundur karena aku tahu kemana langkah harus kuikuti walau terkadang sang prajurit, si tuanku itu harus bersembunyi dan membuka egonya sendiri sebagai manusia. Menurutku bukan kepahaman saja ketika aku harus menjadi pengikut setia karena aku sudah ditakdirkan seperti itu tanpa harus peduli kenapa aku suka menjadi sepatu.

Jika sebuah norma adalah bentuk pemahaman yang menjadikan kenapa harus mengerti dan eksistensi siapa aku dan siapa aku. Lalu kemudian berapa banyak lembaran yang harus terjawab padahal jawabannya adalah ada dalam kepala mereka. Aku sendiri sudah banyak melalui peperangan manusia yang katanya adalah harga diri dan mengikat norma tak terelakan seperti kami tidak pernah punya hati. Seorang bawahan tunduk kepada atasan dan atasan tunduk kepada Yang Teratas, lalu dimana letak rencana manusia yang kemudian berusaha menang terhadap manusia lainnya? apakah ada pemahaman.

Sekian waktu mungkin kebanggaan akan hilang mengingat waktu terus berjalan dan menjadi usang, saat kematian tiba. Sang tuan, si perkasa dalam perang, si pemanggul senjata dan setia terhadap atasan serta norma memilih mati karena penyakit hati memecah belah logika saat perempuan yang dicintai mulai berlati dan mulai tidak cinta. Aku sempat bertanya apa itu kesetiaan pada beberapa jejak kulangkahkan saat perang namun jawabannya hanya ada disebelahku. sebuah ukuran dan cermin terbalik yakni pasanganku. Maka mungkin aku tidak akan di katakan sepatu jika tidak berpasangan. 

Sebenarnya bukan logika saja yang mati jika harus paham nurani sebagai hidup entah manusia atau bukan, toh yang lain hanya bagian dari alam semesta yang berwacana hingga jawaban yang harus dicari adalah bentuk mengerti terhadap apa yang di tanyakan.

Ketiadaan itu sudah dimulai, dari tuanku yang kini hanya memiliki secarik kafan dan nisan tanpa logika. Kepahlawanan mati dan sang juara adalah cinta!

Di rak sepatu yang semakin berdebu tanpa tuan akupun mulai usang dan sudah hampir jelas aku tidak memberikan lagi manfaat tanpa sepasang kaki berani atau sepasang kaki lain selain tuanku sang prajurit. Malam hari Anjing yang lewat depan rumah tuanku mencuri pasanganku hingga keesokan paginya aku sendiri kehilangan bentuk renunganku yaitu cerminanku dan pelengkap eksistensiku.

Lalu apa? aku tidak mati hanya kemudian menjadi sampah setia dan sebuah bentuk kenangan yang terpajang pada kulit-kulit keriput tanpa harga.

Friday, December 16, 2011

Antara Hitam dan Putih

Dalam beberapa langkah aku berhenti pada sebuah canvas putih yang terpajang di dinding  galeri yang tak kutahu siapa pelukisnya. Sebuah canvas putih tanpa bingkai yang bahkan tersamarkan apakah ini adalsh sebuah lukisan, aku tertegun bukan mencoba memahami lukisan tersebut tapi tertegun apa yang pelukis pikiran saat dia memajang canvas tersebut dengan judul 'kosong' itu. 

Aku pikir sebuah lukisan adalah makna tergambar dengan goresan cat ataupun tinta pada sebuah media seperti lukisan lain. Ku coba telusuri canvas itu setiap detailnya dari kiri menuju kanan dan dari atas ke bawah tapi tetap tidak kutemukan sedikitpun tinta ataupun noda pada kanvas tersebut. Aku berulang kali mencari pemahaman  pengaduan si pelukis,   aku pikir setiap aduan seni adalah bentuk pengaduan seseorang pada pena, atau media apapun, mungkin itu adalah kisah, cerita atau gagasan. Sejauh ini semakin aku paham entah kenapa kemudian aku merasa sedikit sunyi.

Aku bertanya pada bayanganku di ruang sunyi itu, karena ternyata lukisan itu terdapat pada satu ruangan khusus yang bercahayakan putih dan menyamarkan lukisan itu sendiri.  Lalu ku ulang pertanyaanku lukisan tersebut hakekatnya ekspresi yang bagaimana? tanyaku. 

Mungkinkah ini adalah sebuah pemahaman bentuk yang tertata justru untuk memisahkan penggambaran sepi dari titik hening terhadap beberapa warna yang justru menghadap dan hanya mengundang decak kagum pengunjung galeri tersebut.  Aku mengambil jarak pada lukisan tersebut dan berdiri pada pintu yang juga sepertinya khusus dibuat menyamarkan dinding sehingga terkesan tidak ada sedikitpun batasan garis pada ruangan tersebut. Canvas yang tidak bernyawa itu seolah mengartikan sedikit kejenuhan pada warna, sebuah ruangan perenungan  dan momen pengendapan cerita terhadap apa yang sudah dilalui bahkan setelah melewati beberapa lorong yang begitu penuh warna dan para kurator ataupun pendamping yang menjelaskan arti serta hakekat ekspresi sang pelukis. Ruangan ini terdapat di ujung lorong tentu saja tanpa ornamen ataupun ekspresi swhingga menunjukan kepucatan dan pertanyaan kenapa dan kenapa. 

Aku diam bukan tanpa kata saat ku dekati lukisan tersebut dan mulai kuraba bagian tepinya lalu menjelaskan arti sendiri terhadap hidup, sementara warna selain putih hanya ada pada diriku. Hitam kulitku dan pakaianku yang juga hitam seperti memberikan bahasan tersendiri antara pembeda dimana titik hitam adalah kekotoran jiwaku dalam ruangan yang serba putih itu.  

Kali ini aku tetap diam dan memperhatikan sekelilingku dimana terdapat cahaya putih yang juga tersamarkan oleh warnanya, hati aku berteriak pedih yang menjauhkan segala rutinitasku dan menelanjangi pikiranku dan bertanya siapakah aku?. Apa yang menjadi pembeda untuk dipahami dan di mengerti saat tangan hitamku menempel pada satu bagian lukisan itu kemudian berbekas telapak tanganku. 

Dimana letak kesadaranku?

Aku bahkan tak mampu bangun sejenak tertunduk seolah aku mati dan berada dalam dimensi yang berbeda yaitu dimensi manusia dengan segala kesombongan, kerakusan, kebencian dan pertarungan-pertarungan untuk menancapkan eksistensi dengan ekspresi penuh warna. Aku sendiri!

Hening dan sesak nafasku berjam-jam berada diruangan itu, sebuah hakekat ekspresi yang kini ku ketahui dalam implementasi perenungan diam dan sadar siapa yang menjadi warna atau noda terhadap nuansa yang sengaja di buat putih. 

Ruang paham dan ruang diam sekaligus mencetak ideologis akan warna hidup sekaligus ruang sadar terhadap eksistensi tanya. Siapa? apa? dimana? dan kenapa? 

Man with Fire

Tidak berpikir ada

Kopi dan berbicara tidak sedikit harus memecah sunyi atau dengan gelak tawa. saat cermin tercipta ia berpengalaman bahwa hari ini akan menjadi hari ini. Dokter Emerald di sebuah tepian danau Cileunca saat dingin menusuk bercermin pada dinding air permukaan yang berkabut, Jika segelas kopi adalah kesadaran maka biarkan aku paham dulu untuk bercermin. Dokter muda berseru kepada seorang hitam legam di warung kumuh yang hampir rubuh. 

Pada dinding air dia sentuh dengan ujung jari memecah pencerminan kemudian bertanya, Jika ini adalah pemahaman kenapa bayangan ini tanpa nyawa kenapa dia bergerak menghilang? atau dia takut dengan hidup itu sendiri? Dokter Emerald kemudian merenung dan diam laksana patung, saat kopinya datang oleh si penjual warung yang tubuhnya hitam legam. 

"Saya datang dengan menari ketempat ini untuk menyediakan kopi Pak Dokter". 

Pemahaman sadar untuk berpikir adalah kenapa harus kopi yang tersuguhkan bukan segelas anggur yang mengangatkan, lalu Dokter Emerald mencoba melukiskan gambar hidup di atas tanah menggunakan ranting yang berserakan. 

"Sebuah pemahaman filsafat adalah pemahaman terhadap kopi itu sendiri" Kata sang penyaji kopi!. 

Cogito ergo sum ternyata bukan aku berpikir maka aku ada, pesanlah secangkir kopi dan kemudian pahami. Seberapa ruang refleksi atau ruang hening yang harus diam untuk tertidur pulas atau justru hendaklah berpikir sebagai rangkaian kalimat paham dan diam. Kopi hanya satu kata saja seperti rokok atau hidup yang juga satu kata saja sementara kata rokok adalah asap yang keluar kemudian mengepul beberapa masalah sebagai pelampiasan hati. lalu kopi? Apakah hidup itu sendiri bukan pelampiasan? atau justru pembunuhan untuk mengerti hidup. sementara hal ini belum melebar pada cinta. 

Penjual hitam legam itu duduk diam di sebelah Dokter Emerald, Dia menepuk bahu sang Dokter dan mengadahkah tangannya. "Itu tanda sabar dan solidaritas sedangkan tangan ini meminta bayaran hidup" katanya. Dokter Emerald tersenyum.

Hidup dan pemahaman bahkan terpisahkan oleh bentangan kebutuhan dari hidup sendiri. Dia menengguk kopinya, menelannya tanpa merasakan. Pahit adalah bentuk simbolis saja tentang susah lalu merenungi ruang hening diam apakah setara dengan masalah yang ada? atau hanya sementara saja sebelum kita paham? Berapa harga secangkir kopi yang agak pahit ini dan harus tambah berapa harga untuk memaniskan kopi yang akan tidak menjadi kopi setelah manis.

"Kamu bilang kamu menari apakah itu termasuk hidup juga?" Tanya Dokter Emerald. Si Hitam legam tersenyum.

Takkan ada hari bila hujan sementara untuk menari saja tak kan pernah tahu dan diam sejejak berapa langkah. Untuk itu pun sudah hilang pahitnya, tersisa ampas kopinya. Mengunyah diam namun kemudiam berbahasa ternyata kopi saja tidak cukup.

Wednesday, December 14, 2011

Berpikir untuk Tidak Berpikir

Aku terlahir sebagai seorang tikus dan dengan sangat berbangganya aku akan berkata bahwa aku adalah seorang tikus.  Seorang atau seekor tidak menjadikan ku masalah apakah aku adalah seorang tikus ataupun seorang tikus, bukan hanya karena manusia terlanjur membenci aku and merasa jijik tapi aku hidup karena ditakdirkan menjadi seekor tikus yang disamakan dengan manusia. 

Bangga? tentu! walaupun aku harus terusir dari habitatku. 

Ditempat aku dilahirkan sungai disamping rumahku adalah surga bagiku karena banyak serangga dan biji-biji tanaman yang aku bisa makan memenuhi naluri ku sebagai mahluk hidup walaupun aku hanya seorang tikus.  Akupun tidak perlu surat tanah atas rumah kepemilikan orang tuaku yang mempunyai sebidang tanah disamping Kali Grogol yang dulu sangat kucintai. Hari ini aku terusir!  bukan karena pegawai pemerintah yang meng-eksekusi atas tanah kelahiranku namun karena aroma kali yang semakin hari membuatku mual. 

Serangkaian pembangunan tercipta oleh manusia dan aku hanya bisa mengais sampah sisa-sisa mereka. lalu apakah aku? pemakan sampah yang juga konsumtif atau justru karena aku bertarung mati-matian saat aku tidak lagi bisa mendapatkan bijian untuk makananku. Sayangnya aku hanya tikus dan tidak bisa membeli bahan makanan yang di impor oleh manusia.

Kami berkembang biakpun secara cepat, maklum di kalanganku tidak mengenal adanya keluarga berencana walaupun aku tak tahu rencana dalam sebuah keluarga itu apa, yang aku lihat secara nyata adalah banyaknya perceraian dan dan polemik-polemik lain yang terjadi sehingga menghilangkan kesakralan pernikahan itu sendiri. Untung juga aku tikus, aku tidak punya norma kesukuan dan budaya 'pamali' dalam keluargaku. 

Aku adalah binatang pengerat, namun kendatipun begitu aku tidak serakah karena aku hanya memakan apa yang aku butuhkan. Jika kemudian manusia menafsirkan aku adalah rakus maka aku pikir yang mereka pikirkan adalah kerakusannya itu sendiri. Bukankah mereka sendiri yang membuat slogan bahwa manusia tidak pernah puas!. aku bukan manusia, aku seekor tikus yang mendadak menjadi seorang tikus.

Aku kenal pemimpinku dan dialah panutan kami dan lewat beliaupun kami diajarkan untuk bangga menjadi tikus. hidup didunia kegelapan tanpa internet dan gadget-gadget canggih yang mengatas namakan memperpendek jarak silaturahmi. Aku bahkan masih bisa mengajarkan anak-anakku beretika dan tahu cara mengenal mereka sendiri tanpa harus berpandang pada layar hingga mulut tak lagi bicara, melainkan tombol-tombol kecil pada komputer atau handphone yang dengan gampang bisa berpuisi atau berteriak kritis.


Otak aku kecil jika dibandingkan dengan otak manusia, tapi aku tahu betul disiplin adalah tidak menyerobot lampu merah ataupun membuang sampah sembarangan. karena aku tahu lingkunganku dan menyerobot berarti mati bagiku, anak-anak tikus pun tahu hal itu melebihi manusia, toh sampah apa yang akan aku buang. 

Suatu hari hujan aku mencari sesuatu untuk alas tempatku tidur, udaranya dingin dan mungkin akan banjir karena aku sendiri kini tinggal di sela-sela gedung yang rapat. Saluran-saluran air telah rapat oleh pondasi beton serta aspal yang panas. Aku menemukan koran di dapur sebuah keluarga, disana tergambar seekor tikus berdasi sedang mengantongi banyak uang kemudian tertulis bahwa dia adalah seorang pejabat. 

Sayangnya aku tikus dan tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik aku sebagai tikus karena tempatku tidak ada polisi ataupun mahkamah konstitusi tempat mengadukan urusan-urusan manusia yang katanya hal itu merupakan kasus pidana. Siapa yang harus aku tuntut?.

Aku dengan baik mengenal lingkunganku dan tentunya aku mencintai alamku sebagai anugrah dan keseimbangan yang terbebankan padaku. itulah lumrahnya, jika manusia kemudian hanya peduli dengan kemajuan dan kantong mereka, apakah aku lebih baik dari mereka?.

Sebutlah aku bodoh karena tidak ada sekolah tikus yang mengajarkan bagaimana kami menjadi tikus yang baik ataupun jahat. Bahkan kami tidak bisa memutuskan yang terbaik dan yang buruk untuk aku, tapi pernahkah terpikir yang membuat perbedaan besar antara aku dan manusia adalah otak mereka yang bisa dengan gampang berpikir kemudian diiringi hawa nafsu mereka untuk kemudian menjadi orang baik dan orang jahat?!. Pertanyaannya adalah kenapa mereka tidak bisa mengendalikan pikiran mereka?.

Kami tidak mencuri karena kami butuh makan dan tidak punya norma, jika aku mengambil makanan di dapur seseorang maka orang tersebut teledor tidak bisa menjaga dapurnya masing-masing. Kami hanya bergerak sesuai naluri dan tidak berpikir! Itupun karena kami merasa terusir sehingga pada akhirnya kami harus memakan sisa-sisa manusia, secara insting kami hanya memakan apa yang kami temui. 

Jika aku takut pada seekor kucing maka mungkin itu adalah sejarah karena saat inipun kami harus ditambah permasalahan sang kucing ini hingga kamipun harus tetap tegap berdiri dan diam-diam memperjuangkan hidup kami, dengan kata lain kami berbeda spesies dengan kucing yang juga sebetulnya mereka bergerak sesuai naluri dia dan sebagai bentuk keseimbangan alam yang diciptakan Tuhan. kemudian pertanyaannya adalah apakah manusia yang saling bunuh dan menindas serta peperangan adalah bentuk keseimbangan juga?

Jika boleh, aku akan berpikir untuk kemudian aku tertawa?! Boleh??

Aku Lupa Berkata

Sejenak mulut ini terkunci entah berapa lama
Matahari diam saja dia mampu bersinar namun ada sedikit biru pada noda awan
Bilamana hak-hak yang hakiki adalah mahkota kenapa harus diam kemudian
Bahkan tidak dalam sebuah bangsa yang demokratis
tidak saja aksi mati atau harus berteriak sampai parau
Padahal jelas-jelas mereka punya otak dan hati

Tidaklah layak jika disebut seekor tikus padahal jiwanya hanya mematikan manusia
Aku lupa kalau dibawah sini disiplin telah mati
semua buas karena merasa sebagai perampok hak dan dirampok hak nya
kemanusiaan mungkin saja wacana atau bahkan sebuah level keperdulian
untuk hidup saja kita hanya butuh sepatu!

Pohon? alam atau semesta ini dimana lingkungan adalah harga mati
haruskah tetap pakai nurani karena harga mati atau biar saja mereka mati
dan mengisi keluh kesah dengan material yang samar
Aku sudah lupa aku juga memotong kayu pada saat aku membangun rumahku
tapi itu manfaat seharusnya dan dukungan alam
tanpa terkorupsi waktu dan tidak mematikan disiplin

Aku lupa ketika berbatang rokokku telah basah karena hujan
dan tanpa bersuara lagi, hanya sebuah nyanyian nyinyir pada penguasa
bukan saja salah sang raja tapi otak kita sendiri merasa manusia
atau harus kukunci saja mulut ini untuk cerita yang lalu
dan kemudian masa depanku dan anak-anak cucu mereka
berjodoh dengan kekerasan dan kematian

Masih ingat pada hari nurani mati
seorang anak terperkosa dan mati
lalu diam dan menulis surat tanpa pembaca hingga tepi kali busuk dan lupa
menjadi marjinal ditengah raksasa yang sebenarnya bukan mendayung maju tapi memukul kepala
harus mati hari ini di masa hak terebut dan menjadi dilema?
sekali lagi di negara yang dipenuhi perbedaan karakter
dan menyebut dirinya bangsa yang bernegara

Rancu! padahal aku lupa ada dimana

Tuesday, December 13, 2011

Glen Fredly at R&W Lounge Kemang #2





Glen Fredly at R&W Lounge Kemang #1





The Face



The Sky #6

Perupa Malam

Tubuhnya menggigil kedinginan di tengah waktu yang ia tidak ketahui, hanya beberapa jam saja setelah malam seperti hari kemarin. Rambutnya terikat tidak rapi tapi menjulur pada ikatan yang membentuk simpul yang kuat dan tegak pada tiang-tiang normatif sebagai pandangan dan tempat menggantungkan berbagai keluhan sementara senyuman tak pernah tertampung.

Kedua tangannya memegang cawan yang berisi daun teh yang hendak dia jadikan segelas teh untuk mengabdi pada dirinya. Tidak saja dia hanya bisa diam karena teh saja bukan menjadi simbol pasti dari suara hati. 

Dia benci malam!

Masa lalu selalu datang membencinya sementara kakinya tak pernah berhenti bergerak menyusuri lorong gelap malam, setengah berlari dan setengah merayap karena kesadarannya telah tergerus waktu.

Mata itu adalah harapan, seperti saat dia memakai baju bru dan tersenyum seperti kau pernah tahu dipertemuan pertama kita. Dan betul itu mimpi. Kuas yang ku sapukan mendadak menjadi wajahmu yang datang lalu aku meneruskannya menjadi malam. 

Aku tidaklah punya cat minyak untuk menarik garis dari titik-titik sketsa saat mata menatapku aku hanya tercengang takjub karena sikapmu., dan kau berkata maaf.  Lalu aku bentangkan satu lagi kanvas di sebelah kiriku berharap kutemukan diriku dalam sisimu sementara aku menatap lukisan yang tidak pernah selesai aku ambil pensilku dan melukis dia yang adalah kamu saat ramah menyapa walau tanpa tertegur aku karena ketidak beradaanku. Satu kali saja bisa membuatku menyimpulkan bahwa kau lebih pantas bersayap daripada berjalan dengan kedua kaki bersamaku.

Hujan sudah tidak pernah datang!.

Kau membenci malam seperti enggan tanpa pikir tapi kau sendiri berharap harus ada yang diakhiri. Lalu aku torehkan tepian-tepian lukisan itu menjadi sebuah cerita tanpa nama, walaupun aku bermimpi itu aku. Yang kulakukan hanya berharap itu aku dan terselesaikan lukisanku.

Seorang putri! atau hanya duplikat dari senyuman monalisa saja yang lebih abstrak tanpa terbaca dengan kata-kata atau terlihat oleh mata?. 

Monday, December 12, 2011

Analogi pada Secangkir Kopi

Aku membeli sebuah buku kosong yang berwarna putih tiga minggu kemarin, uangnya aku dapatkan dari hasil keringatku menjual kopi disudut pasar kumuh yang kukenal sebagai surga bagi kantongku. Bagaimana tidak? sepulang dari pasar tersebut sakuku selalu penuh dengan uang yang terkadang aku merasa cukup berat membawanya, maklum uang yang kuterima berupa lempengan-lempengan logam yang beratnya hampir mencapai seperempat ons. Sebuah keramaian yang menawarkan sejuta dunia tanpa aku tahu bentuk sejuta atau berapa jumlah dari sejuta karena hasil penjualan kopiku hanya cuma 12 ribu rupiah dan semuanya hanya uang logam!. 

"Akulah mahluk paling berbahagia hari ini!" teriakku pada sekumpulan ayam yang hendak dipotong di pasar tersebut, akupun menjulurkan lidahku sebagai tanda bahwa akulah sang kuat dari mata-mata yang tidak bisa menangis namun kemudian mati di tangan ibu tua gemuk yang aku kenal sebagai Ibu Mumun sang penjagal ayam dan sang penjual daging ayam. Olehku dan kawan-kawan tak nyataku aku juluki sebagai pendekar gendut pencabut bulu ayam! Sewaktu kecil aku sering ditakuti oleh tetanggaku sesama penjual kopi instan bahwa kalau aku mencuri sesuatu di pasar ini maka Sang penjagal Ibu Mumun ini tak akan segan memotong tangan sang pencuri untuk kemudian di jual bersama ceker ayam. Itulah hal yang paling menakutkan sepanjang sejarah hidupku selain cerita tentang kamtib dari waria-waria yang berada di belakang blok rumahku. 

Uang 12 ribu yang aku dapatkan tentunya akan membayar semua kelelahanku memulung bijih kopi kering di tempat penggilingan kopi. Sebelumnya aku tidak pernah sama sekali belajar bagaimana kopi itu dibuat namun ternyata hidup tidak hanya sekedar bernafas dan bermimpi basah saat malam hari, mata inipun secara sempurna melihat yang kemudian merekam dalam dulungan otak kemudian memerintahkan kedua tangan ini untuk pintar mengambil peluang yang ada di depan mataku. Dan kemudian dari butir-butir kopi yang kemudian ditumbuk halus itulah aku belajar hidup.

Aku sendiri tidak tahu jenis kopi apa yang aku jual namun aku tahu bahwa seharusnya aku menyajikan cinta walaupun azas yang kutanam adalah azas kepentingan egoku untuk mendapatkan uang. Aku menumbuk sendiri butir2 kopi yang sudah dikeringkan itu, pemilik penggilingan kopi itu adalah seorang sanak dari ayah kakekku yang kemudian entah bagaimana menjadi saudaraku. Pada awalnya aku dilarang memungut kopi karena akan merugikannya, namun setelah diam-diam aku mengambilnya, mungkin konotasinya akan sama dengan mencuri tapi aku lebih pilih pembuktian seorang aku walaupun sebenarnya hany coba-coba semata. Aku tumbuk kopi yang diam-diam aku ambil itu kemudian kutumbuk lalu kuseduh pada cangkir seng punya pemilik itu dan dia bilang bahwa kopiku adalah kopi ternikmat didunia namun menurutnya ada kekurangan pada kopimu ini karena rasanya adalah rasa curian yang kemudian merusak citarasa kopi itu sendiri.

Aku bertanya kenapa? Sang pemilik ternyata tidak pernah punya anak semasa hidupnya dan satu-satunya hal yang ia impikan adalah secangkir kopi buatan anaknya setiap pagi yang menemani masa tuanya, menurut beliau itu adalah rasa asli dari secangkir kopi 'cinta' katanya. Dan semenjak itupun setiap pagi aku membuatkan kopi untuknya dan diperbolehkan untuk memulung kopi yang hendak digiling untuk aku ambil dan aku jual.

Aku menjual cinta!

Secangkir kopi buatanku kujual 500 rupiah, kendatipun begitu aku belum pernah memegang uang kertas Republik ini bahkan untuk menyekolahkanku negeri ini butuh surat tidak mampu yang pada proses pembuatannya tetap saja pakai uang seribu!. Sial kataku tapi aku menikmati hidupku dengan uang logam di sakuku yang kemudian bisa memberi makan kedua orang tuaku yang renta pensiunan pahlawan kemerdekaan yang kini kerjaannya hanya berjalan-jalan mencari pegadaian yang bisa menerima gadaian medali kehormatan sebagai pejuang berani mati pada masanya.

Aku sendiri lupa dimana aku hidup, atau siapa yang mengayomiku dalam hidup. Suatu ketika anak-anak berseragam berteriak padaku bahwa aku adalah mahluk yang dilindungi undang-undang seperti komodo! entahlah apa itu yang kemudian kutahu dari bungkus kopi yang belum digiling yang menyebutkan anak dan fakir miskin di lindungi oleh negara. Aku hanya bisa tertawa sinis sambil melihat bagian pantatku, jangan-jangan aku mempunyai ekor, gumamku sambil tertawa sendiri. 

Hari kemarin, hari kemarin, hari ini dan hari esok aku adalah penjaja cinta, aku menyediakan cinta lewat kopiku seperti pemilik penggilingan kopi katakan padaku tapi suatu saat ketika kutawarkan cinta dengan berteriak disudut pasar aku dicemoohnya dan di ketawakan hingga akhirnya aku tahu bahwa penjaja cinta adalah penjual seks!. Dalam pikiranku saat itu "apa benar cinta itu seks atau cinta itu kopi?". 

Tujuh hari tujuh malam aku tidak tidur memengerti apa itu cinta tanpa coba bertanya dan sialnya lagi aku tak pernah menemukannya. tapi sudahlah ini terlalu menyita otakku, lebih baik kuurusi perutku, keluargaku dan orang-orang yang kucinta!. eh... sekali lagi aku menemukan kata cinta! makin bingung aku, hingga akhirnya aku harus bertanya pada sang pemilik penggilingan kopi. Dia menjawab bahwa aku akan menemukannya dalam cangkir kopi yang aku buat!. Makin gila dan bingung aku, namun dia juga mengatakan bahwa dia mencintai Ibu Mumun sang penjagal ayam. Ini lebih membingungkan aku!. 

Hari ini aku berjualan dekat kios tempat Ibu Mumun berjualan, aku perhatikan saat sang pemilik penggilingan kopi itu mendekati Ibu Mumun dan merayunya. hmm... ini menarik pikirku. Ibu Mumun sang jagal, seorang janda anak satu itu takluk oleh perut gendut dan kumis sang pemilik penggilingan kopi. Hebat pikirku!. Ini baru cinta!. 

Sejauh aku memandang setelah berjualan beberapa cangkir kopi dan mengantongi lebih dari enam ribu rupiah yang semuanya uang logam aku dikagetkan oleh seorang perempuan sebayaku yang kutahu dia adalah anak perempuan Ibu Mumun. Sari namanya sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman, kemudian dia memesan kopiku. Dengan gemetar aku mengiyakan lalu ku ambil keranjang berisi kopi bubuk yang kutumbuk sendiri dan menyajikannya untuk Sari si perempuan itu yang tak berhenti melihat mataku. Sial kenapa aku gugup dan gemetaran!! Otakku ga bisa berpikir, pokoknya kutuangkan kopi menurut takaran yang menurutku cukup dan kuseduh dengan air thermos panas dan memberikannya ke si Sari. 

Sari tersenyum! dan aku hampir pingsan!

Ya Tuhan apalah ini? kenapa aku mendadak mati diantara keramaian saat aku sendiri merasa diketawai oleh si pemilik penggilingan melihat tingkahku dan bahkan Si Ibu Mumun ikut menertawakan aku. Aku tahu kosakata malu saat itu dan ternyata ga enak!. 

Ku perhatikan diam-diam tangan sari mulai meminum kopinya kemudian mengerenyitkan dahinya dan berkata ini adalah kopi paling enak sedunia!. Sungguh aku dibuat penasaran karena sebelum aku juga ikut merasakan jika seseorang bilang bahwa kopinya enak dengan maksud biar aku tahu kopi enak itu seperti apa dan menjadi bahan evaluasiku. 

Sepertinya Sari tahu pola pikirku, kemudian dia menyodorkan kopi itu padaku dan mempersilahkan aku mencoba kopinya. Aku mengangguk dan mencobanya, dan apa yang terjadi. Itu adalah kopi yang paling pahit yang aku temui!.

Tapi kenapa kemudian dengan kecanggunganku membuat kopi mungkin karena cinta tapi ternyata pahit!! apakah ini rasa asli dari cinta?!. Sial aku makin bingung. sementara orang-orang disekelilingku masih mentertawakan aku dan tingkahku dan Sari yang tidak berhenti senyum-senyum dan melirikku dengan sudut matanya. Lalu pandangan sang pemilik penggilingan pun seolah puas bisa menjelaskan padaku dan Ibu Mumun yang kini bergelayutan di bahu laki-laki gendut itu. Lalu ayam-ayam yang pernah ku perolok-olok itu kemudian sepertinya juga ikut berteriak "mampus loe!!!" sambil ketawa cekikikan tanpa sadar sebentar lagi golok milik sang penjagal menebas leher si ayam!.

Aku bingung memegang secangkir kopi pahit yang aku namakan cinta dengan tanganku diantara mata yang menilai, mencibir, bangga dan penuh dengan ilusi dan intrik kemanusiaan yang terjadi.